Oleh : Ramli Lahaping
Demi kebahagiaan kita, aku memutuskan untuk menemui mantan kekasihmu. Aku merasa tak tahan lagi menggantungkan perasaan kita di dalam simpul pernikahan. Aku sudah kehilangan kesabaran untuk terus hidup seatap denganmu, tanpa kerelaan hatimu. Kurasa, sudah sangat ganjil jika kita tidak pernah tidur bersampingan, padahal kita adalah sepasang suami-istri.
"Jika kau menghargai perasaanku, jangan pernah kau memperlakukan aku sebagai istrimu yang sesungguhnya," pintamu, dengan nada sayup dan raut sayu, pada malam setelah pernikahan kita, tiga minggu yang lalu, di dalam kamarmu, pada sebuah rumah yang diperuntukkan orang tua kita untuk kita berdua.

Aku lantas melayangkan senyuman simpul. Menyuratkan kesan bahwa aku bisa memahami perasaanmu. "Ya. Aku mengerti, bahkan tanpa perlu kau peringatkan."
"Terima kasih," balasmu, lirih.
Hening sejenak.
Sampai akhirnya, aku mempertanyakan kerisauanku, "Tetapi sampai kapan kita begini? Apakah kita akan terus berpura-pura hidup bahagia sebagai suami-istri?"
Kau lantas mendengkus lesu. "Entahlah. Mungkin selamanya. Atau sampai setelah orang tua kita meninggal, dan kita bercerai."
Aku hanya mengangguk-anggukkan anggapanmu, dan makin mengerti bahwa kau memang tidak mencintaiku.
"Maafkan aku," tuturmu kemudian.
Dengan perasaan yang pilu, aku kembali merekahkan senyuman. "Jangan merasa bersalah. Aku mengerti kalau kita tidak seharusnya berada di dalam hubungan yang seperti ini.” Aku lantas mengembuskan napas yang panjang. Mencoba mendamaikan perasaanku sendiri. “Tetapi kita tetap berteman, kan?"
Kau lantas mengangguk dan tersenyum kaku. "Tentu saja."
Akhirnya, hari demi hari setelah akad, rumah tangga kita tetap dingin. Setiap kali kita seruang, kita hanya akan saling memperlakukan layaknya sepasang sahabat, sebagaimana kita sebelumnya.
Ya, kita memang bersahabat sejak SMA, sejak ayah kita yang bersahabat baik sebagai teman kuliah, tinggal dan hidup di kota ini beserta keluarga mereka masing-masing, termasuk kita berdua. Kita pun kerap bertemu di luar sekolah, sebab ayah kita kerap bertemu untuk urusan kerja sama bisnis properti mereka. Tetapi kedekatan kita itu, hanya dalam status sahabat.
Sama sepertimu, dahulu, aku pun tak pernah berharap kita menikah. Aku hanya menginginkan kita sebagai teman dekat. Tetapi rupanya, pandangan orang tua kita berbeda. Mereka menganggap kita serasi untuk menjadi sepasang suami-istri.
Sampai akhirnya mereka menjodohkan kita. Mereka memaksa kita menikah. Mereka yakin bahwa kita akan bahagia. Tetapi kita sama-sama tahu, bahwa mereka melakukan itu untuk memantapkan kerja sama bisnis di antara mereka.
Atas pernikahan yang terpaksa, aku pun memahami bahwa kau tak menganggapku lebih dari sahabat. Kau tak bisa menerimaku sebagai suamimu. Tetapi sebaliknya, tanpa kau ketahui, aku telah memendam perasaan istimewa terhadapmu sekitar dua tahun yang lalu. Perasaan itu tumbuh begitu saja di puncak persahabatan kita, setelah aku tahu dan menyaksikan sendiri kalau kau makin dekat hingga mengikatkan hati dengan seorang lelaki sebagai sepasang kekasih.
Sejak saat itu, aku mesti berjuang meredam rasa cemburuku setiap kali mendengar atau melihat kebersamaan kalian. Apalagi, sebagai teman, kau kerap kali menceritakan dan memamerkan tentang kalian kepadaku. Kau bahkan enteng mengolok-olok diriku yang tak juga mempunyai kekasih, tanpa kau tahu bahwa aku sengaja menjaga kesendirianku demi harapanku tentang kita.
Akhirnya, karena perkara hubungan kita yang rumit, hari ini, aku memutuskan untuk menjumpai mantan kekasihmu. Dengan tekad yang bulat, aku ingin menemukan jalan terbaik untuk membahagiakanmu. Bagaimanapun, aku mencintaimu, entah sebagai sahabat atau istri, dan aku tak ingin kau hidup menderita karena jeratan pernikahan kita.

Untuk itu, aku rela mengorbankan perasaanku untukmu. Aku pasrah saja pada kemungkinan-kemungkinan untuk kebahagiaanmu berdasarkan penuturan mantan kekasihmu. Karena itu, jikalau perasaan kalian memang saling terikat dan tak mungkin terpisah, aku akan mencari cara yang tepat untuk melepaskanmu dan merelakanmu hidup bersamanya.
Sampai akhirnya, dengan perasaan dan pikiran yang kacau, aku bertemu dengan mantan kekasihmu di rumahnya. Aku sontak kagok saat bersetatap dengannya, dan begitu pun sebaliknya. Tetapi atas semua yang sudah terjadi, aku berusaha tampil dengan sikap biasa, sebagaimana pula dirinya. Dan setelah ia memberikan ucapan selamat dan meminta maaf atas pernikahan kita yang tidak ia hadiri, kami pun terlibat basa-basi dan perbincangan yang kaku.
Hingga akhirnya, di tengah keseganannya untuk menyinggung perihal dirimu secara khusus, aku pun memberanikan diri untuk mengungkapkan maksud kedatanganku, "Sebenarnya, aku datang ke sini untuk membahas tentang istriku."
Seketika, ia jadi salah tingkah.
"Kau tentu tahu, kami menikah karena paksaan orang tua kami. Dan terus terang, ia tampak tidak bisa menerima hubungan kami sebagai suami-istri. Ia hanya menganggapku sebagai sahabatnya. Tidak lebih," terangku kemudian, dengan sikap tenang. "Aku yakin, sikapnya itu ada hubungannya dengan dirimu. Aku kira, ia belum bisa menghapus perasaannya kepadamu."
Ia pun termangu. Seperti kebingungan meramu balasan. Hingga akhirnya, ia bertutur juga, "Maafkan aku," katanya, dengan rona wajah yang muram.
“Akulah yang semestinya meminta maaf. Sungguh, aku tak punya niat untuk merebutnya darimu,” balasku, kemudian tersenyum untuk meredakan ketegangan di antara kami. “Aku berharap kau bisa memahami bahwa aku memang tidak bisa menghindari pernikahan paksa itu."
Dengan raut keheranan, ia lantas mengangguk-angguk. "Lalu, apa yang mesti kulakukan untukmu?"
Aku pun mendengkus kalut, kemudian melontarkan pertanyaan intiku, "Apa kau juga masih mencintainya."
Ia sontak merenung-renung. Seperti berusaha mengartikan perasaannya sendiri. Sampai akhirnya, ia menggeleng. "Barangkali bukan cinta. Pada akhirnya, kurasa, aku hanya menyenanginya sebagai teman jalan dan teman mengobrol. Sejak dahulu sampai sekarang, aku sama sekali tidak punya pikiran untuk menikahinya."
Aku pun terheran mendengar keterangannya.
"Sejujurnya, sebelum kalian menikah, aku punya niat untuk memutuskan hubungan kami. Tetapi aku terlalu takut jika kejujuranku akan melukai hatinya, sehingga aku tak pernah mengatakannya.” Ia lantas mengembuskan napas yang panjang. “Terus terang, saat itu, di tengah kebersamaan kami, aku telah jatuh hati kepada seorang perempuan yang lain, dan aku punya keinginan untuk menikahi perempuan itu. Dan akhirnya, pekan depan, aku benar-benar akan menikahinya.”
Seketika juga, aku terkejut mengetahui kenyataan itu. "Jadi, kau sama sekali tak merasa sakit hati dan kehilangan dirinya atas pernikahan kami?"
"Tentu saja kau merasa kehilangan. Tetapi aku hanya merasa kehilangan seorang sahabat, bukan kekasih," ujarnya, lantas melayangkan senyuman simpul yang singkat. "Dan atas pernikahan kalian, aku berterima kasih kepadamu, karena kau telah menggantikan posisiku dan menjadi kekasih sejatinya."
Aku mengangguk saja. Namun di dalam hati, aku merasa sedikit kesal, sebab ia telah mengukir kenangan dan menggoreskan luka di hatimu. Tetapi akhirnya, aku sadar bahwa akulah yang salah, sebab aku tak juga mengungkapkan perasaanku kepadamu, hingga kau menjadi kekasihnya.
Sejenak kemudian, ia menyergapku dengan pertanyaan, “Tetapi kau benar-benar mencintainya sebagai istrimu, kan, meski kalian menikah secara terpaksa?"
Tanpa keraguan, aku pun mengangguk. "Kurasa begitu."
Ia lantas tersenyum. "Kalian memang serasi. Aku yakin, suatu saat, kalian akan hidup bahagia."
Aku lekas mendengkus kecut, sebab kita sepertinya tak akan pernah bahagia dalam pernikahan, selama kau tidak mencintaiku. Sampai akhirnya, atas keputusasaanku itu, aku pun tertarik untuk meminta pendapatnya demi meluluhkan hatimu, "Tetapi kira-kira, berdasarkan pengalaman kebersamaanmu dengannya, aku harus bagaimana agar ia menyenangiku?"
Setelah merenung-renung beberapa saat, ia pun menuturkan taksirannya, "Yang kutahu, ia suka dihadiahi bunga atau cokelat. Ia juga suka mendengarkan lagu Daniel Sahuleka. Dan kukira, kau perlu mencukur kumismu, sebab ia mengaku sama sekali tak suka lelaki berkumis," terangnya, lantas tergelak pendek. "Oh, ya, sebentar." Ia lalu masuk ke sebuah ruangan, lantas kembali dan menyodoriku sebuah botol kecil, "Ia juga mengaku menyukai aroma parfum ini. Kalau kau mau, ambillah."
Dengan senang hati, aku pun menerimanya. "Terima kasih."
Ia lantas mengangguk. "Semoga kau berhasil."
"Semoga," harapku.
Tak lama kemudian, aku pun pamit dan pulang sembari membawa rencana untuk meluluhkan hatimu. Dengan penuh kepasrahan, aku akan menerapkan saran-saran dari mantan kekasihmu, meski aku tahu, langkah itu barangkali malah akan membuatmu terkenang kepadanya dan makin mengabaikanku. Tetapi bagaimanapun, aku hanya ingin menyenangkanmu, meski aku tak lagi menjadi diriku sendiri.
Akhirnya, setelah sampai di kediaman kita, aku pun lekas mandi dan mencukur semua rambut yang tumbuh di wajahku. Selepas itu, aku lantas mengenakan pakaian terbaikku, kemudian menyemprotnya dengan parfum pemberian mantan kekasihmu. Lalu dengan sikap biasa, aku pun menuju ke kamarmu, dan menjumpaimu sedang terlentang dan bermain ponsel.
"Hai, aku beli pai cokelat untukmu. Aku kira kau akan suka," tuturku, kemudian meletakkannya di atas meja.
Kau lalu bangkit dari pembaringan dan lekas menyibak kotaknya. "Wah. Terima kasih," katamu, kemudian mencicipinya.
Aku lantas menyambungkan ponselku dengan sepiker, kemudian memainkan lagu Daniel Sahuleka-You Make My World So Colourful.
Setelah itu, aku duduk di sampingmu.
"Eh, kau tak punya urusan kantor hari Sabtu pekan depan, kan?" tanyamu kemudian, dengan raut ceria.
Aku mengangguk saja. "Memangnya kenapa?"
"Aku dapat kabar kalau mantan kekasihku akan menikah," terangmu, dengan wajah semringah.
Sontak, aku merasa aneh menyaksikan responsmu atas kabar rencana pernikahan mantan kekasihmu itu. Aku pun mulai menebak-nebak arah pembicaraanmu. “Terus?”
Kau lantas menghabiskan potongan kue di tanganmu, lalu membalas, "Maksudku, mungkin sebaiknya kau menghadiri acaranya itu." Kau lantas berpikir-pikir, kemudian bertanya, "Atau, apa sebaiknya aku hadir juga? Bagaimana menurutmu?"
Aku pun jadi makin bingung atas sikapmu. "Entahlah. Terserah kau saja. Aku selalu siap untuk menuruti kemauanmu."
Kau lantas tersenyum singkat. “Kalau begitu, besok-besok saja kita putuskan.” Kau lalu kembali merebahkan tubuhmu di atas kasur, kemudian mengembuskan napas yang panjang. “Ah, aku sungguh senang mendengar kalau ia akan menikah. Selama ini, aku sangat khawatir kalau ia akan terluka dan terpuruk atas pernikahanku denganmu. Aku merasa sangat bersalah kepadanya. Tetapi ternyata, ia bisa juga melepaskan diri dari kenangan-kenangan tentang kami."
Seketika pula, perasaanku tersentak. Aku pun mulai memahami ketidakterikatan hati di antara kalian.
Hening beberapa lama.
Dengan perasaan senang dan harapan yang besar atas masa depan kita, aku pun merebahkan tubuhku di sampingmu, dengan kaki yang juga menekuk dan menggantung di pinggir kasur. Kita lalu sama-sama memandang langit-langit ruangan dengan pikiran masing-masing.
Hingga akhirnya, kau kembali membuka suara, "Aneh. Tiba-tiba saja kau pandai memilih lagu. Aku suka Daniel Sahuleka," katamu, lantas menoleh kepadaku dengan senyuman manis.
Aku hanya membalas dengan tawa yang pendek.
"Eh, kau juga terlihat makin tampan setelah cukuran," pujimu lagi.
Terang saja, aku merasa tersanjung. "Terima kasih, Nona Cantik.”
Kau pun tertawa lepas.
Akhirnya, aku merasa akan segera merengkuh kebahagiaan yang sesungguhnya atas dirimu.***
Ramli Lahaping. Kelahiran Gandang Batu, Kabupaten Luwu. Berdomisili di Kota Makassar. Menulis di blog pribadi (sarubanglahaping.blogspot.com). Bisa dihubungi melalui Instagram (@ramlilahaping).
Comments