Kepedulian pada Penyandang Disabilitas dan Konsistensi Pelaksanaan UU No. 8 Tahun 2016
top of page

Kepedulian pada Penyandang Disabilitas dan Konsistensi Pelaksanaan UU No. 8 Tahun 2016

Oleh: Radian Jadid


SURABAYA - analisapost.com | 3 Desember dikenal sebagai Hari Disabilitas Internasional atau International Day of Persons with Disabilities (IDPD) yang diperingati sejak 1992, yang diproklamasikan melalui resolusi Majelis Umum PBB 47/3. Tujuannya untuk meningkatkan awarness terkait hak dan kesejahteraan para penyandang disabilitas di semua bidang kehidupan masyarakat baik aspek politik, sosial, ekonomi dan budaya.

Foto : Dokpri (Radian Jadid)

Tema IDPD tahun 2021 adalah “Partisipasi dan keterlibatan penyandang disabilitas menuju dunia pascaCovid-19”. Lewat tema ini, harapannya para penyandang disabilits mendapat fasilitas inklusif, mudah diakses dan terus menerus diterapkan atau berkelanjutan. PBB merilis bahwa saat ini dari total 7 miliar penduduk dunia, 15 persen di antaranya adalah orang dengan disabilitas. 80 persen dari total orang dengan disabilitas itu tinggal di negara berkembang.

Istilah cacat sudah ada sejak lama dan pada jaman kemerdekaan Indonesia tahun 1945 sudah digunakan dalam bahasa literasi negara. Kata cacat berawal dari anggapan masyarakat yang melihat kecacatan fisik diakibatkan oleh dosa para penyandangnya maupun akibat dari dosa orangtuanya.


Juga sering dikaitkan dengan dampak dari hal-hal yang berbau klenik atau supranatural. Hal itu juga menjadi stigma sehingga orang cacat dianggap tidak layak hidup,menjadi beban dan anggapan negatif lainnya yang selanjutnya memunculkan diskriminasi dan ketidaksetaraan. Dalam perkembangannya istilah cacat mengalami penghalusan dengan penggunaan istilah tuna untuk sebutan tuna rungu, tuna netra, tuna grahita, dsb. Juga penggunaan istilah penyandang cacat (dipakai pada UU No. 15 tahun 1992) untuk memperhalus istilah penderita cacat.


Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cacat merujuk pada barang atau benda mati, atau dalam kata lain Afkir. Tentunya tidak ada manusia yang diciptakan oleh Tuhan dengan kondisi tersebut. Istilah Penyandang Cacat mengandung nilai yang cenderung membentuk makna negatif. Penyandang cacat dianggap sebagai sekumpulan orang yang tidak berdaya, tidak berkemampuan dan menyandang masalah karena ‘tercela’ atau cacat. Selanjutnya muncullah istilah disabilitas sebagi sebuah pendekatan untuk mendapatkan sebutan yang netral dan tidak menyimpan potensi diskriminasi dan stigmatisasi.


Definisi yang digunakan oleh WHO yaitu “Disability serves as an umbrella term for impairments, activity limitations or participation restrictions” (Disabilitas adalah “payung” terminologi untuk gangguan, keterbatasan aktivitas atau pembatasan partisipasi). Beberapa aktifis dan pegiat kemanusiaan jugamemuncuklan istilah difabel untuk menggantikan istilah disabilitas. Difabel merupakan akronim dari Different Ability, atau Different Ability People, manusia dengan kemampuan yang berbeda. Istilah ini digunakan untuk menyebut individu yang mengalami kelainan fisik,namun tetap berdaya dan memilikiposisi yang setara dengan individu lainnya.


Undang-undang tentang Penyandang Cacat pertama kali dikeluarkan pada tanggal 28 Pebruari 1997 yang kemudian diperbarui dengan Undang-Undang Nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Yang dimaksud Penyandang Disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga Negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.


UU tersebut juga menyatakan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia menjamin kelangsungan hidup setiap warga negara, termasuk para penyandang disabilitas yang mempunyai kedudukan hukum dan memiliki hak asasi manusia yang sama sebagai Warga Negara Indonesia serta berhak untuk hidup maju dan berkembang secara adil dan bermartabat.


Saat ini sebagian besar penyandang disabilitas di Indonesia hidup dalam kondisi rentan, terbelakang, dan atau miskin disebabkan masih adanya pembatasan, hambatan, kesulitan, dan pengurangan atau penghilangan hak penyandang disabilitas. Negara punya tanggungjawab untuk mewujudkan kesamaan hak dan kesempatan bagi penyandang disabilitas menuju kehidupan yang sejahtera, mandiri, dan tanpa diskriminasi.


UU No. 8 tahun 2016 yang diundangkan menjadi 102 lembaran negara, yang terdiri dari 70 halaman isi serta 32 halaman penjelasan sudah sangat jelas dan cukup untuk menjamin hak para penyandang disabilitas. Mulai bagian pertama tentang hal umum penyandang disabilitas hingga Bagian Kesembilan Belas tentang Pelindungan dari Tindakan Diskriminasi, Penelantaran, Penyiksaan, dan Eksploitasi, sangat runtut dan detail mengatur tentang upaya mengakui dan menghormati keberdaan mereka. Pendek kata UU tersebut sudah cukup menjadi jaminan bagi para penyandang disabilitas untuk setara kedudukannya dalam hukum, pemerintahan dan sosial kemasyarakatan.


Negara menjamin kesamaan kesempatan dengan memberikan peluang dan atau menyediakan akses kepada penyandang disabilitas untuk menyalurkan potensi dalam segala aspek penyelenggaraan negara dan masyarakat.


Negara juga melarang setiap bentuk diskriminasi baik pembedaan, pengecualian pembatasan, pelecehan, atau pengucilan atas dasar disabilitas yang bermaksud atau berdampak pada pembatasan atau peniadaan pengakuan, penikmatan, atau pelaksanaan hak Penyandang Disabilitas.


Penghormatan harus diberikan sebagai sikap menghargai atau menerima keberadaan Penyandang Disabilitas dengan segala hak yang melekat tanpa berkurang. Upaya yang dilakukan secara sadar untuk melindungi, mengayomi, dan memperkuat hak mereka serta upaya yang dilakukan untuk memenuhi, melaksanakan, dan mewujudkan hak Penyandang Disabilitas menjadi kewajiban negara mewujudkannya.


Negara harus mendorong Pemberdayaan mereka sebagai upaya untuk menguatkan keberadaannya dalam bentuk penumbuhan iklim dan pengembangan potensi sehingga mampu tumbuh dan berkembang menjadi individu atau kelompok yang tangguh dan mandiri. Aksesibilitas sebagai kemudahan yang disediakan untuk Penyandang Disabilitas guna mewujudkan Kesamaan Kesempatan harus diberikan.


Akomodasi yang layak sebagai dengan modifikasi dan penyesuaian yang tepat dan diperlukan untuk menjamin penikmatan atau pelaksanaan semua hak asasi manusia dan kebebasan fundamental untuk Penyandang Disabilitas berdasarkan kesetaraan. Konsesi berupa bentuk potongan biaya yang diberikan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau setiap orang kepada Penyandang Disabilitas berdasarkan kebijakan Pemerintah dan Pemerintah Daerah perlu diperjuangkan.


Juga kemudahan dan pemenuhan alat bantu terhadap kekurangan mereka. Pelayanan Publik sebagai kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik harus juga berpihak pada para penyandang disabilitas,kalau perlu disediakan pula Unit Layanan Disabilitas sebagai bagian dari satu institusi atau lembaga yang berfungsi sebagai penyedia layanan dan fasilitas untuk Penyandang Disabilitas.

Kesungguhan dalam mengimplementasikan ketentuan tersebut sangat dibutuhkan oleh para penyandang disabilitas. Negara harus hadir menggerakkan semua sistem untuk berpihak pada para penyandang disabilitas.


Jaminan kesempatan mempreoleh pendidikan bagi mereka harus betul-betul dipenuhi. Sekolah inklusi baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun yayasan atau swasta selayaknya memperoleh perhatian khusus dan tambahan fasilitas penunjangnya. Partisipasi masyarakat baik individu maupun dalam bentuk kelompok sosial, yayasan dan kelembagaan lainnya perlu ditunjang dengan berbagai kemudahan dan fasilitas untuk memuliakan para penyandang disabilitas.


Kesempatan kerja para penyandang disabilitas harus dijamin dan dikuati. Negara harus hadir untuk memfasilitasi bahkan bisa pula dengan memaksa semua unit kerja, mulai dari pemerintahan, BUMN, swasta hingga UMKM untuk membuka kesempatan seluas-luasnya bagi penyandang disabilitas untuk bisa bekerja sesuai kemampuannya tanpa terhalang oleh kekurangan yang ada.


Komisi Nasional Disabilitas (KND) perlu direvitalisasi untuk sebesr-besarnya mengayomi dan memperjuangkan harkat dan martabat para penyandang disabilitas.


Besarnya harapan yang dituangkan dalam undang-undang tentunya hanya akan menjadi jauh api dari panggang dan hanya menjadi fatamorgana dipadang pasir manakala negara tidak sungguh-sungguh mengawal dan melaksanakannya. Upaya mewujudkan penghormatan, pemajuan, pelindungan, dan pemenuhan hak para penyandang disabilitas serta peningkatan taraf kehidupan mereka menjadi lebih berkualitas, adil, sejahtera lahir dan batin, mandiri, dan bermartabat, harus ditempuh.


Kesempatan mengembangkan diri serta mendayagunakan seluruh kemampuan sesuai bakat dan minat yang dimilikinya untuk menikmati, berperan serta berkontribusi secara optimal, aman, leluasa, dan bermartabat dalam segala aspek kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat, harus diperluas dan dikuatkan. Semua itu hendaknya tidak hanya sporadis danletupansaja,namun hendaknya bisa berlangsung terus-menerus, dan berkelanjutan.


Konsistensi mengimpelematasikan No. 8 tahun 2016 sangat ditunggu. Negara harus hadir untuk memberikan contoh, menginisiasi bahkan memaksa semua unsur dalam masyarakat untuk mewujudkannya.


Radian Jadid

- Kepala Sekolah Rakyat Kejawan

- Pembina Rumah Swadesi Keputih

- Sekretaris Forum Budaya Jawa Timur

- Pengurus di Padepokan Tjokro Aminoto


893 tampilan0 komentar

Postingan Terakhir

Lihat Semua
bottom of page