Koalisi Masyarakat Sipil Surabaya Tolak Penulisan Ulang Sejarah Indonesia
- analisapost

- 10 Agu
- 3 menit membaca
Diperbarui: 11 Agu
SURABAYA - analisapost.com | Koalisi Masyarakat Sipil Surabaya menyatakan penolakan terhadap rencana penulisan ulang sejarah Indonesia. Sikap ini disampaikan dalam aksi Panggung Rakyat yang digelar di Sekretariat GMKI, Jalan Tegalsari, Surabaya, Sabtu (9/8/2025).

Koalisi yang terdiri dari berbagai elemen, antara lain Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) sejumlah kampus, Barisan Aktivis 98, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Surabaya, GUSDURian Surabaya, Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PD Inti) Jawa Timur, Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI), Kelompok Studi Gender, hingga Kesehatan Ubaya menilai upaya tersebut berpotensi mengaburkan fakta sejarah dan menghilangkan jejak pelanggaran HAM di masa lalu.
Sejumlah akademisi turut hadir, di antaranya Prof. Drs. Hotman Siahaan, Guru Besar FISIP Universitas Airlangga; Dr. Pinky Septandari EP, antropolog FISIP Unair; Dr. Endah Triwijati, M.A.; serta RD. Alexius Kurdo Irianto. Mereka memberikan pandangan kritis terkait risiko manipulasi sejarah yang dapat merugikan generasi mendatang.
Penolakan ini muncul di tengah wacana revisi buku sejarah nasional yang dinilai minim melibatkan publik, terutama korban pelanggaran HAM, dan berpotensi menghapus peristiwa penting seperti kerusuhan Mei 1998.
Polemik semakin memanas setelah Menteri Kebudayaan Fadli Zon menyebut pemerkosaan massal Mei 1998 sebagai “rumor” Bagi sebagian kelompok, langkah ini dianggap sebagai bagian dari upaya pemutihan sejarah Orde Baru.
Aksi di Surabaya ini diikuti lebih dari 80 tokoh dari 24 elemen masyarakat. Selain aksi cap tangan, kegiatan meliputi sarasehan, orasi budaya, dan pembacaan pernyataan sikap bersama.
Guru Besar FISIP Unair, Prof. Hotman Siahaan, menegaskan bahwa menghapus peristiwa pelanggaran kemanusiaan dari catatan sejarah tidak akan menghilangkan ingatan kolektif masyarakat.
“Rezim bisa berganti, tetapi narasi sejarah akan tetap hidup di memori sosial. Pengalaman traumatis akan melanggengkan narasi sejarah di benak masyarakat. Karma sejarah akan menghantui siapa pun yang mencoba menghapus fakta demi kekuasaan,” ujarnya.

Antropolog FISIP Unair, Pinky Saptandari, menambahkan bahwa momen seperti ini penting untuk menyuarakan pihak yang terbungkam sekaligus meluruskan kesalahan sejarah. “Kami menolak pengabaian, pelupaan, dan penyesatan sejarah. Memori kolektif harus dijaga,” ucapnya.
Sementara itu, Dr. Endah Triwijati atau Tiwi, Dosen Universitas Surabaya mengatakan Kala itu terbentuk Komunitas Gerakan Masyarakat Surabaya yang bertujuan untuk kemanusian dan itu terbentuk karena kekerasan di Mei 98. Ia menilai upaya menghapus bagian sejarah adalah tindakan sistematis yang mempertahankan ketakutan di bawah sadar masyarakat. Beliau juga pernah mendampingi korban kekerasan Mei 1998, termasuk di Surabaya.
"Pola kekerasan ini bukan hal baru. Perempuan sering menjadi target paling rentan, tidak hanya diserang secara seksual, tetapi juga dipinggirkan secara naratif,” katanya.
Tiwi menambahkan, pihaknya memahami korban sulit untuk berbicara, sehingga pendidikan masyarakat tentang kekerasan seksual menjadi penting. Menurutnya, kekerasan seksual sering terhapus dari pemberitaan, sementara yang muncul justru narasi heroik.
“Waktu itu kami memulai pertemuan di Universitas Surabaya, lalu berlanjut ke Universitas Widya Mandala. Kami telusuri wilayah-wilayah yang pernah mengalami kerusuhan. Salah satu keluarga korban yang kami temui memberikan kesaksian sama persis dengan kejadian di Jakarta. Pelakunya bukan warga setempat, polanya biasanya massa dimobilisasi untuk menyerang,” tuturnya.
"Kekerasan seksual terhadap perempuan kerap dihilangkan dari catatan sejarah, padahal itu terjadi dan terpolakan di berbagai wilayah, termasuk Surabaya, di mana pelaku berasal dari luar daerah, berpakaian serupa, kemudian menghilang. Kekuasaan memanfaatkan sentimen etnis dan kelas untuk memecah belah. Ini jauh lebih berbahaya. Menghapusnya sama saja mempertaruhkan kesatuan bangsa,” ceritanya kepada awak media AnalisaPost.
Ia menilai, peristiwa tersebut menunjukkan bagaimana kekuasaan memanfaatkan sentimen etnis dan kelas. “Teman-teman dari golongan bawah dimobilisasi untuk melakukan perusakan. Bagian sejarahnya sengaja dihilangkan. Menurut saya, ini adalah upaya sistematis untuk mempertahankan ketakutan di bawah alam sadar, dan itu lebih berbahaya karena membuka peluang perpecahan,” ungkapnya.

Akademisi Universitas Ciputra, Yohanes Somawiharja, mengingatkan bahwa sejarah bukan hanya milik pemenang, tetapi juga korban.“Memastikan suara korban tidak dihapus adalah tugas mulia demi membangun peradaban yang bermartabat,” tegasnya.
Koordinator aksi, Kandi Aryani Suwito, menyatakan kegiatan tersebut menjadi ruang solidaritas warga Surabaya terhadap isu bangsa.“Kami menolak penulisan ulang sejarah Indonesia. Ke depan, kami akan merespons isu lain, karena tragedi tidak boleh dihapus dari sejarah bangsa,” tutupnya mengakhiri.
Dalam pernyataan sikapnya, Koalisi Masyarakat Sipil Surabaya menuntut:
Menolak buku sejarah yang disusun Kementerian Kebudayaan dan disetujui DPR RI dengan dana APBN 2025.
Menolak penulisan ulang sejarah yang berpotensi menjadi instrumen legitimasi kekuasaan dan menghapus narasi korban pelanggaran HAM.
Mendesak pemerintah menghormati temuan resmi lembaga negara, kesaksian korban, serta rekomendasi lembaga kredibel seperti Komnas HAM, Komnas Perempuan, dan TGPF Mei 1998.
Menuntut penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu sebagai bagian dari rekonsiliasi nasional.
Setelah diskusi, para peserta aksi beramai-ramai melakukan cap tangan di spanduk bertuliskan Tolak Manipulasi Sejarah dan menyampaikan pernyataan sikap. (Che)
Dapatkan update berita pilihan serta informasi menarik lainnya setiap hari di analisapost.com





Komentar