top of page

Krisis Kelapa Nasional: Saatnya Menata Ulang Kebijakan Ekspor Indonesia

Diperbarui: 25 Okt

Penulis Oleh: Dr. Ir. Ivan Gunawan, S.T., M.MT., CSCM., IPM., ASEAN Eng

Peneliti dari Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya

Dr. Ir. Ivan Gunawan, S.T., M.MT., CSCM., IPM., ASEAN Eng   Peneliti dari Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya

SURABAYA - Indonesia, negeri dengan garis pantai terpanjang di dunia, kini berhadapan dengan krisis kelapa yang kian mengkhawatirkan. Padahal, kelapa selama ini dikenal sebagai komoditas unggulan sekaligus sumber penghidupan bagi jutaan pekerja di berbagai daerah. Namun, pasokan kelapa nasional kini tak lagi mampu memenuhi kebutuhan industri pengolahan dalam negeri.


Jika situasi ini tidak segera diantisipasi, kelangkaan jangka panjang dapat terjadi dan berdampak serius terhadap perekonomian nasional. Industri minyak kelapa, desiccated coconut, serta berbagai produk turunannya terancam lumpuh akibat sulitnya memperoleh bahan baku. Sebagian besar pohon kelapa di Tanah Air telah berusia tua dan tidak lagi produktif. Kondisi ini diperparah oleh peralihan petani ke komoditas lain seperti kelapa sawit yang dianggap lebih menguntungkan.


Masalah menjadi semakin kompleks ketika kenaikan harga ekspor mendorong pedagang dan petani memilih menjual kelapa utuh ke luar negeri, alih-alih memasok industri domestik. Akibatnya, banyak pabrik di dalam negeri kini hanya beroperasi 40-50 persen dari kapasitas maksimal.


Studi dari International Journal on Food System DynamicsĀ (2022) mencatat bahwa sejak 2023, rasio pasokan terhadap permintaan kelapa Indonesia telah jatuh di bawah angka satu. Artinya, kebutuhan nasional telah melampaui kemampuan pasokan lokal. Dua faktor utama penyebabnya adalah penurunan luas lahan sekitar 1,93 persen per tahun dan produktivitas yang stagnan di kisaran 1,1 ton kopra per hektar. Sementara itu, permintaan luar negeri terutama dari Tiongkok terus meningkat. Kelapa Indonesia kini banyak diolah menjadi santan sebagai pengganti susu dalam tren kopi modern.


Pemerintah berulang kali menegaskan pentingnya hilirisasi dan peningkatan nilai tambah dalam negeri melalui pembangunan industri olahan kelapa. Ironisnya, izin ekspor kelapa utuh dan kopra tetap diterbitkan. Sejumlah peneliti menilai kebijakan tersebut justru memperparah krisis bahan baku dan mengancam keberlanjutan industri hilir nasional.


Sekitar 6,6 juta petani yang menggantungkan hidup pada kelapa kini terancam kehilangan sumber penghasilan. Produk mentah lebih dulu diekspor sebelum sempat diolah di dalam negeri yang seharusnya mampu memberi nilai tambah lebih tinggi.


Pemerintah belakangan mulai mempertimbangkan penerapan pungutan ekspor (PE) sebagai instrumen penyeimbang agar pasokan domestik tetap terjaga. Sejumlah peneliti merekomendasikan dua langkah strategis untuk keluar dari krisis ini. Pertama, memperluas areal perkebunan kelapa hingga 7 juta hektar, terutama di kawasan timur Indonesia seperti Maluku, Sulawesi Utara, dan Nusa Tenggara yang memiliki potensi besar. Kedua, meningkatkan produktivitas melalui peremajaan pohon tua dan penerapan teknik budidaya modern.


Jika perluasan lahan belum memungkinkan, pembatasan ekspor kelapa utuh dan kopra bisa menjadi langkah sementara. Misalnya, ekspor dibatasi maksimal 60 persen dari permintaan global, sambil memberi insentif nyata kepada petani agar tetap menanam kelapa dan melakukan regenerasi pohon. Selain itu, koordinasi lintas kementerian perlu diperkuat agar kebijakan yang dihasilkan tidak tumpang-tindih maupun bersifat reaktif.


Kebijakan ekspor kelapa mentah sudah saatnya ditinjau ulang demi menjaga keberlanjutan sistem pangan tropis. Hilirisasi seharusnya tidak berhenti sebagai slogan, melainkan menjadi motor penggerak kesejahteraan petani dan kemajuan industri nasional. Krisis kelapa ini sepatutnya menjadi momentum bagi Indonesia untuk berbenah, memperkuat kedaulatan bahan baku strategis, dan memastikan masa depan petani serta industri olahan benar-benar terjamin.


Referensi

  • Gunawan, I., Trihastuti, D., Mulyana, I.J., & Limbara, C. (2022). Securing Coconut Availability in Indonesia.Ā International Journal on Food System Dynamics, 13(3), 294–307.


  • Gunawan, I., Trihastuti, D., & Mulyana, I.J. (2021). Sustainability Issues of the Coconut Supply Chain in Indonesia.Ā IEEE International Conference on Industrial Engineering and Engineering Management (IEEM), 158–162.

Komentar


bottom of page
analisa post 17.50 (0 menit yang lalu) kepada saya