top of page

25 Tahun Gereja Katolik Sakramen Mahakudus, Saat Gus Dur Dianugerahi Gelar Pahlawan

Diperbarui: 1 hari yang lalu

SURABAYA - analisapost.com | Hujan deras yang mengguyur kawasan Gayungan, Senin (10/11/25) malam, tak menyurutkan langkah ratusan umat Katolik dan tamu lintas agama yang datang ke Gereja Katolik Sakramen Mahakudus, Surabaya. Di tengah rinai yang jatuh lembut di pelataran gereja, irama hadrah berpadu dengan dentum kendang, menyambut tamu istimewa malam itu Sinta Nuriyah Wahid, istri mendiang Presiden ke-4 RI, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur).

Sinta Nuriyah Wahid tiba di Gereja Katolik Sakramen Mahakudus Surabaya untuk menghadiri peringatan 25 tahun berdirinya gereja yang pernah diresmikan oleh suaminya, Gus Dur (Foto: Div)
Sinta Nuriyah Wahid tiba di Gereja Katolik Sakramen Mahakudus Surabaya untuk menghadiri peringatan 25 tahun berdirinya gereja yang pernah diresmikan oleh suaminya, Gus Dur (Foto: Div)

Sekitar pukul 21.00 WIB, Sinta tiba bersama putri sulungnya Zannuba Ariffah Chafsoh yang kerap di sapa Yenny Wahid, disambut hangat oleh RD Yosef Budi Eko Susilo, mantan Administrator Diosesan Keuskupan Surabaya, serta RD Yohanes Agus Sulistyo, Pastor Kepala Paroki Sakramen Mahakudus.


Di antara barisan tamu hadir pula para tokoh lintas agama dari Nahdlatul Ulama, Majelis Ulama Indonesia, Lembaga Dakwah Islam Indonesia, hingga perwakilan Kristen dan Konghucu.


Malam itu, gereja yang berdiri bersebelahan dengan Masjid Nasional Al-Akbar Surabaya merayakan ulang tahun ke-25. Tepat seperempat abad sebelumnya, pada 10 November 2000, Gus Dur sendiri yang meresmikan gereja ini menjadikannya satu-satunya gereja Katolik di Indonesia yang diresmikan oleh seorang presiden sekaligus ulama.


Meski hujan belum reda, suasana di aula gereja terasa hangat dan penuh warna. Tarian barongsai merah dan kuning membuka perayaan dengan atraksi memukau, diiringi paduan suara anak-anak Srengenge Nyunar yang melantunkan lagu syukur.


Sementara itu, hadrah dari Gerakan Pemuda Ansor menambah khidmat sekaligus meriah, menegaskan semangat kebersamaan yang melintasi sekat agama.


Dress code malam itu menggambarkan kebinekaan, perempuan berbalut kebaya warna-warni, laki-laki tampil gagah dengan beskap dan jarik genda. Ketika lagu mengalun, hadirin ikut berdendang, seolah menyatu dalam semangat Hari Pahlawan yang bertepatan dengan perayaan ini.


Di barisan depan, Sinta Nuriyah tersenyum lembut. Banyak umat tak kuasa menahan haru melihat sosok perempuan 77 tahun itu kembali ke tempat yang dahulu diresmikan bersama sang suami. Kunjungannya kali ini menjadi simbol utuh perjalanan panjang semangat toleransi Gus Dur, apalagi pemerintah baru saja menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada almarhum.


Dalam sambutannya, Romo Yosef Eko Budi Susilo mengenang kedekatan personalnya dengan Gus Dur dan Sinta. Selama 12 tahun, ia kerap mendampingi pasangan itu dalam kegiatan sahur keliling di berbagai tempat ibadah di Jawa Timur.


"Gerakan sahur keliling itu adalah bentuk nyata dari upaya Gus Dur merajut toleransi di negeri ini,” tutur Romo Yosef dengan suara bergetar.


Ia menyebut Gereja Sakramen Mahakudus sebagai "anak kandung" semangat Gus Dur tentang karunia dalam keberagaman. Gereja yang berdiri berdampingan dengan Masjid Al-Akbar itu, adalah simbol harmoni spiritual yang nyata dua rumah ibadah besar yang saling menatap tanpa sekat dan tanpa curiga.

Dalam suasana hangat dan penuh keakraban, Sinta Nuriyah Wahid berbincang dengan tamu lintas agama. Momen ini menjadi refleksi hidup atas warisan Gus Dur yang baru dianugerahi gelar Pahlawan Nasional
Dalam suasana hangat dan penuh keakraban, Sinta Nuriyah Wahid berbincang dengan tamu lintas agama. Momen ini menjadi refleksi hidup atas warisan Gus Dur yang baru dianugerahi gelar Pahlawan Nasional (Foto: Div)

"Di sinilah Gus Dur ingin menunjukkan bahwa kedekatan fisik antara gereja dan masjid bisa menjadi lambang kedekatan hati dan iman," ujarnya.


Saat tiba di gerbang gereja sisi utara, Sinta mengaku terharu melihat menara Masjid Al-Akbar menjulang di sisi selatan. "Sakramen Mahakudus adalah satu-satunya gereja Katolik di Indonesia yang diresmikan oleh presiden yang juga ulama," katanya dengan nada bangga namun lirih.


Dalam pidatonya, Sinta melukiskan Indonesia sebagai taman penuh bunga. "Suku, agama, dan budaya adalah bunga-bunga yang berbeda warna dan aroma. Mawar tidak bisa dipaksa menjadi melati," ujarnya lembut, mengutip pesan Gus Dur yang selalu ia ingat.


Ia menegaskan bahwa rumah ibadah bukan hanya bangunan fisik, melainkan ruang sosial yang menumbuhkan empati dan kemanusiaan.


"Di tempat ibadah, manusia belajar berbagi dan menghargai perbedaan,” tegasnya, disambut tepuk tangan panjang para tamu lintas iman.


Bagi warga Surabaya,  terutama di jalan Pagesangan keberadaan Gereja Sakramen Mahakudus memiliki makna tersendiri. Letaknya yang berdekatan dengan kompleks Masjid Nasional Al-Akbar bukan kebetulan, melainkan hasil pemikiran progresif Gus Dur dan para rohaniwan Katolik saat itu.


Gereja ini diharapkan menjadi “jembatan spiritual” bukan sekadar tempat ibadah umat Katolik, tetapi juga pusat kegiatan sosial lintas agama.


Selama 25 tahun, gereja ini telah menggelar berbagai kegiatan sosial bersama masyarakat sekitar, dari bakti sosial lintas agama, pelatihan kewirausahaan warga sekitar, hingga dialog lintas iman yang rutin menghadirkan tokoh NU dan ormas Islam lokal. Semua berjalan dalam semangat "bersaudara dalam perbedaan."


Menjelang akhir acara, suasana semakin mengharukan ketika Sinta mengajak seluruh hadirin berdiri menyanyikan "Satu Nusa Satu Bangsa."


"Jika kita mengaku bersaudara sebagai orang Indonesia, pantaskah kita gontok-gontokan dan cakar-cakaran? Kita diikat oleh Pancasila. Mari perkuat dan menyanyikan ’Satu Nusa Satu Bangsa," serunya, disambut riuh rendah tepuk tangan.


Malam itu, di bawah sisa rintik hujan, Sinta dan Yenny Wahid meninggalkan halaman gereja sambil menyalami umat satu per satu. Di wajah mereka tergambar kedamaian.


Gereja Sakramen Mahakudus seolah menegaskan kembali pesan abadi Gus Dur "Tuhan tidak perlu dibela. Yang perlu dibela adalah manusia yang diperlakukan tidak adil atas nama Tuhan."


Dan malam itu, di Surabaya, pesan itu hidup dalam irama hadrah, gerak barongsai, dan pelukan lintas iman yang menghidupi arti sejati toleransi Indonesia. (Che)


Dapatkan berita pilihan serta informasi menarik lainnya setiap hari dan ikuti berita terbaru analisapost.com klik link ini jangan lupa di follow.

Komentar


bottom of page
analisa post 17.50 (0 menit yang lalu) kepada saya