Puisi : Dhien Faro Pasa
Banda Aceh, 2012
Di sini, seribu calon pengantin satukan hati, mengikat janji,
Sehingga birahi hutan cempaka tidak mampu ku ingkar ke gua,
Menuju bintang dengan aurat terbuka.
Jangan tanyakan aku mengapa rambutnya terbakar, renggali mengerontang, dan selaksa depik benamkan diri ke relung danau,
Kekeringan menambah dahaga hulu krueng peusangan.
Puteriku yang bungsu kenapa engkau ingin ke luar rumah, pisahkan diri,
Baju terbangmu bukan hilang dalam kebun kopi robusta, tidak juga terselip dalam lemari Malam Dewa.
Mendekatlah ke bendungan pada hamparan pualam,
Sebelum banjir dan badai datang dari Antara,
Sebelum engkau kenyang mengunyah buah simalakama.
Jangan bermimpi lembahmu menjadi kebun kelapa, kemudian ribuan guci akan berisi santan seketika, (seperti dadamu menyimpan susu balita).
Telah berwindu-windu pantaimu menyimpan lahar merapi, sementara lumpur di hilir berisi Batu permata dan berjuta genggam garam Madura, bugak dan jangka.
Bungsuku,
Hentikan perjalanan dari ranahmu yang berliku, karena bukit di kiri dan jurang di kanan tidak Terpantau penggembala dengan sepasang kuda berpelana.
(Madu mu bersarang di puncak wasangka, di atas lembah berduka, nampak di langit gerhana bulan menambah gulita).
Mari bersama menikmati sinar mentari, menyongsong pelangi dengan secawan kopi, Secangkir terong Belanda,
Sembari menggulai seekor rusa.
Dapatkan breaking news dan berita-berita terkini dari analisapost.com
Comentarios