top of page

Ketua PII Jatim: Ambruknya Ponpes Al Khoziny itu di Duga Salah Kontruksi

SURABAYA - analispost.com | Satu bulan lebih telah berlalu sejak bangunan tiga lantai yang menjadi asrama putra sekaligus musala Pondok Pesantren (Ponpes) Al Khoziny di Kecamatan Buduran, Sidoarjo, ambruk pada Senin sore (29/9/25). Namun, bayang-bayang duka itu masih pekat. Sebanyak 63 santri meninggal dunia dalam tragedi tersebut, sementara ratusan lainnya mengalami luka-luka.

Ketua PII Jawa Timur, Dr. Ir. Gentur Prihantono, SP., SH., MT., MH., IPU
Ketua PII Jawa Timur, Dr. Ir. Gentur Prihantono, SP., SH., MT., MH., IPU (Foto: Div)

Di tengah kesedihan dan tuntutan keadilan dari masyarakat, hingga kini pihak kepolisian belum menetapkan satu pun tersangka. Kasus yang ditangani oleh tim gabungan Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) dan Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Jawa Timur itu masih berada pada tahap penyidikan awal.


ā€œNanti kami sampaikan. Saat ini belum bisa kami sampaikan,ā€ ujar Kabid Humas Polda Jatim Kombes Pol Jules Abraham Abast saat dikonfirmasi pada Rabu (5/11). Ia hanya menambahkan bahwa kepolisian telah menjadwalkan pemeriksaan terhadap 17 saksi, namun tidak merinci asal pihak-pihak yang dimaksud.


Bangunan yang mestinya menjadi tempat aman bagi ratusan santri itu roboh seketika ketika mereka sedang menjalankan ibadah salat Ashar. Suara dentuman keras terdengar hingga radius puluhan meter, membuat warga sekitar berhamburan.


Dalam hitungan detik, lantai dan balok yang semestinya menopang aktivitas belajar justru berubah menjadi puing dan perangkap tragis bagi para penghuni muda di dalamnya.


Hasil analisa awal tim gabungan kepolisian menyebutkan bahwa penyebab runtuhnya bangunan mengarah pada kegagalan konstruksi. Struktur tersebut diduga tidak mampu menahan beban sesuai kapasitas seharusnya.


Namun hingga hari ini, publik belum mengetahui bagaimana kegagalan konstruksi itu terjadi apakah karena kesalahan desain, penggunaan material yang tidak sesuai standar, pekerjaan yang tidak diawasi tenaga ahli, atau adanya proses perizinan yang tidak lengkap. Pertanyaan-pertanyaan itu masih menggantung.


Ketika polemik penyidikan masih berjalan lambat, kalangan profesional angkat bicara. Ketua Persatuan Insinyur Indonesia (PII) Jawa Timur, Dr. Ir. Gentur Prihantono, SP., SH., MT., MH., IPU., menilai tragedi Ponpes Al Khoziny harus menjadi titik balik kesadaran publik tentang pentingnya peran insinyur dalam setiap pembangunan.


"Profesi insinyur itu elemen vital dalam pembangunan bangsa. Sertifikat Registrasi Insinyur (STRI) adalah bentuk legalitas yang wajib dimiliki, sebagaimana amanat Undang-Undang No. 11 Tahun 2014 tentang Keinsinyuran," tegas Gentur saat dikonfirmasi awak media AnalisaPost.


Menurutnya, banyak lembaga seperti ponpes kerap membangun fasilitas secara mandiri tanpa libatkan perencana, pengawas, atau tenaga ahli yang kompeten. Meskipun anggaran ada, namun anggapan bahwa pembangunan fisik hanyalah pelengkap membuat beberapa proyek dilakukan dengan cara-cara tidak sesuai standar.


"Ponpes itu mendidik santri, bukan membentuk insinyur. Maka pembangunan tetap harus melibatkan profesional. Pemerintah daerah pun punya kewenangan memeriksa perizinannya IMB, PBG sebelum bangunan berdiri. Jangan sampai ini diabaikan," ujar Gentur yang juga mantan Kepala Dinas Pekerjaan Umum (PU) Bina Marga Provinsi Jawa Timur.


Ia menyoroti kecenderungan sebagian lembaga menggunakan tenaga tukang tanpa sertifikasi, atau bahkan memobilisasi santri sebagai tenaga bangunan.


"Itu tidak dibenarkan. Tukang dan mandor harus bersertifikat. Kalau pun ada bantuan tenaga dari lingkungan ponpes, sifatnya hanya membantu, bukan mengerjakan struktur inti bangunan," tegasnya.


Dalam penjelasannya, Gentur memaparkan bahwa bangunan gedung memiliki umur teknis 25-50 tahun. Jika perencanaannya benar, pada tahun ke-10 kerusakan yang wajar hanya sebatas estetika bukan runtuh.


"Masalahnya, kalau dibangun tanpa perencana dan tanpa pengawasan, dampaknya besar. Bisa saja tidak roboh di awal, tapi ambruk di tahun kelima atau kesepuluh," katanya.


Ia menjelaskan bahwa sejak tahap awal pembangunan, setiap proses seperti pengecoran beton wajib melalui uji laboratorium. Spesifikasi material, penyusunan RAB, dan gambar teknis harus dikerjakan oleh tenaga ahli sipil dan arsitektur.


Karena itulah, Gentur menilai bahwa runtuhnya bangunan Ponpes Al Khoziny merupakan gambaran adanya kesalahan mendasar dalam desain atau pelaksanaan konstruksi.


"Saya melihat ini salah perhitungan desain. Tidak ada engineer yang kompeten dalam prosesnya. Itu sudah melanggar UU Keinsinyuran," paparnya.


Siapa Bertanggung Jawab?

Ketika ditanya mengenai pihak yang harus bertanggung jawab, Gentur menekankan bahwa pemilik bangunan memegang tanggung jawab utama. Namun tanggung jawab profesional hanya dapat berjalan jika memang ada mandor, kontraktor, atau insinyur yang terlibat dalam proyek.


"Jika tidak ada tenaga ahli yang diberi kewenangan, maka pemilik harus bertanggung jawab. Karena pembangunan gedung tidak bisa dilakukan sembarangan dan bukan tanpa aturan," tegasnya.


Ambruknya bangunan Ponpes Al Khoziny bukan sekadar insiden tunggal, ia menjadi cermin serius tentang betapa rentannya bangunan publik ketika keahlian teknis diabaikan dan pengawasan lemah. (Che/Dna)


Dapatkan berita pilihan serta informasi menarik lainnya setiap hari dan ikuti berita terbaru analisapost.com klik link ini jangan lupa di follow.

Komentar


bottom of page
analisa post 17.50 (0 menit yang lalu) kepada saya