Korban Bom Bali Minta Bukti Nyata dari Umar Patek
- analisapost
- 7 Jun
- 3 menit membaca
SURABAYA - analisapost.com | Sebuah momen penuh muatan emosional terjadi saat grand launching Hedon Estate "Kopi Ramu 1966” milik Umar Patek di Surabaya. Salah satu korban selamat dari tragedi Bom Bali 2002 hadir dalam acara tersebut dan berkesempatan bertemu langsung dengan mantan narapidana teroris yang kini beralih menjadi pengusaha kopi.

Pertemuan itu terjadi pada Selasa malam (3/6) tempat kafe tersebut dibuka. Suasana sempat hening sejenak ketika Chusnul Chotimah, warga Sidoarjo yang mengalami luka bakar hingga 70 persen dalam ledakan di Legian 23 tahun lalu, naik ke atas podium menyampaikan langsung isi hatinya kepada Umar Patek.
"Masih ingat saya? Masih ingat, sidang pertama Bapak, saya didatangkan, dan Bapak cuma bilang maaf?" katanya, menatap pria yang dulu menghancurkan hidupnya.
Chusnul mengaku pernah dipenuhi dendam kepada Umar Patek, Amrozi, dan Ali Imron. Rasa sakit dan kehilangan membuatnya berharap para pelaku merasakan penderitaan serupa. Ia bahkan sempat tidak bisa memaafkan, bahkan setelah suaminya meninggal pada 2018.
"Dulu saya sangat dendam. Saya ingin keluarga Bapak mengalami cacat seperti saya. Tapi berkat pendekatan dari LPSK dan BNPT, saya mulai belajar memaafkan. Prosesnya tidak mudah," tuturnya.
Chusnul menyampaikan bahwa dirinya telah melihat adanya perubahan dalam diri Umar Patek. Ia berharap perubahan itu tidak hanya berupa kata-kata, tetapi juga diwujudkan melalui tindakan nyata.
"Bapak sudah berubah jadi orang baik. Kalau Bapak berhasil dan sukses, tolong intip sedikit kehidupan kami. Saya tidak minta uang, saya minta kesempatan. Jika anak-anak kami butuh pekerjaan, tolong beri ruang bagi mereka belajar dari keahlian Bapak membuat kopi,” pintanya.
Menurutnya, banyak penyintas dan anak-anak korban bom yang hidup dalam kesulitan ekonomi dan tidak memiliki kesempatan kerja yang layak.
“Seperti saya, dengan kondisi seperti ini, tidak ada yang mau menerima saya bekerja. Bantu kami, bantu anak-anak kami. Itu saja yang saya mohon dari Bapak dan teman-teman Bapak," tegasnya.
Chusnul juga menceritakan kepada awak media AnalisaPost, perjuangannya menjalani perawatan medis hingga ke Australia. Saat itu, pemerintah Australia menawarinya bantuan berupa uang, rumah, atau toko sambil menunjukan luka-luka di tangan dan kakinya.
"Saya bilang, saya tidak mau apa-apa. Saya cuma ingin pendidikan untuk dua anak saya. Akhirnya mereka sekolah sampai lulus S1," kisahnya.
"Waktu saya di operasi di Australia, pemerintah australia tanya, Ibu mau apa? uang, rumah atau toko? lalu saya menjawab, saya tidak mau apa-apa. Tapi saya mau pendidikan dua anak saya. Akhirnya anak saya di sekolahkan hingga S1," ceritanya.
Ia menegaskan bahwa kehadirannya di acara tersebut bukan untuk menghakimi, melainkan untuk melihat sejauh mana perubahan bisa benar-benar terjadi.
"Saya masih ingat wajahnya dari berita dulu. Tapi hari ini saya ingin melihat apakah dia benar-benar sudah berubah,” katanya kepada awak media AnalisaPost, seusai berbicara dengan Umar Patek.
Umar Patek, yang divonis 20 tahun penjara namun bebas bersyarat pada 2022 setelah menjalani program deradikalisasi. Menanggapi pernyataan Chusnul, Umar Patek menyampaikan penyesalannya atas masa lalu.
"Saya sangat menyesal. Apa pun yang kami berikan tidak akan pernah sebanding dengan luka-luka Ibu dan para penyintas lainnya. Tapi saya bertekad menjalani hidup di jalan damai sekarang," ujar Umar di hadapan media dan para tamu undangan.
Pemilik Hedon Estate, drg. David Andreasasmito, menyatakan komitmennya untuk memberikan peluang kerja bagi para penyintas dan anak-anak korban terorisme.
Kafe Kopi Ramu 1966 sendiri merupakan bagian dari upaya sosial merangkul eks-narapidana terorisme serta menciptakan ruang kerja bagi anak muda yang rentan terhadap paham radikal.
Nama "Ramu" diambil dari nama Umar, sementara istilah "hedon" dimaknai sebagai cara hidup damai dan menikmati hidup tanpa kekerasan.
Meski inisiatif ini mendapat dukungan dari sejumlah pihak, termasuk aparat keamanan, kehadiran Umar di ruang publik masih menuai pro dan kontra.
Sejumlah aktivis HAM dan keluarga korban menilai proses rekonsiliasi harus dijalankan secara hati-hati agar tidak menyakiti mereka yang masih berduka.
Chusnul menutup pernyataannya dengan pesan penting: “Rekonsiliasi itu perlu, tapi tidak boleh menghapus sejarah. Luka kami nyata. tapi saya percaya setiap orang bisa berubah jika sungguh-sungguh.” (Dna)
Dapatkan update berita pilihan serta informasi menarik lainnya setiap hari di analisapost.com
Comments