Menggapai Inklusi dan Kesetaraan
top of page

Menggapai Inklusi dan Kesetaraan


Foto : Yeni Endah (Juara II Lomba Karya Tulis Disabilitas Fordiva)

Oleh : Yeni Endah


Sejak menjadi difabel, saat usiaku 19 tahun karena kelainan langka yang kumiliki yaitu Friedreich’s Ataxia. Hidupku berubah 360 derajat. Salah satu aktifitas yang tidak bisa kulakukan dengan leluasa adalah bepergian. Mau pergi naik angkot atau bus repot bin ribet, karena kedua sarana transportasi itu belum akses untuk pengguna kursi roda. Jadi untuk bepergian orang tuaku menyewa mobil, yang tentu saja biayanya lebih mahal. Dua ratus lima puluh ribu rupiah sekali menyewa. Maka aku lebih memilih untuk pergi kalau ada keperluan yang sangat mendesak saja.


Namun sejak merebaknya taksi online beberapa tahun lalu, aku dan orang tuaku tidak perlu pusing lagi kalau mau pergi. Aku mulai menggunakan jasa taksi online sejak awal bulan Juli 2017, karena keaktifanku berkegiatan bersama Komunitas Sahabat Difabel, Semarang.

***


Pertama kali menggunakan jasa taksi online, jantungku berdegub kencang, membayangkan pengalaman apa yang akan aku alami, ada pikiran negatif menghampiri, tapi buru-buru kutepis. Terlihat ada rasa kaget dari sopir taksi online karena mendapat penumpang seorang difabel.


Naik taksi online membuatku belajar untuk mengenali berbagai macam karakter manusia. Terkadang aku menemui sopir yang cuek dan hanya diam di sepanjang perjalanan, yang baru membantu ketika baru dimintai tolong, atau sopir yang ringan tangan, begitu ramah, banyak bercerita, sehingga perjalanan terasa sangat singkat.


Aku pernah menjumpai sopir yang sangat pendiam. Hanya bertanya kemana tujuanku. Jadi di sepanjang perjalanan aku hanya mendengarkan musik juga bermain smartphone milikku. Bertemu sopir seperti itu membuat perjalanan jadi dua kali lebih lama.


Ketika memesan taksi online aku selalu bertanya jenis mobil apa yang akan menjemputku, karena aku membawa kursi roda dan tentu saja membutuhkan mobil berukuran besar. Namun kenyataannya, tidak setiap kali aku memesan taksi online selalu mendapat mobil berukuran besar. Adakalanya mendapat mobil berukuran kecil seperti Brio, maka aku harus memutar otak bagaimana satu mobil itu muat untukku dan kursi rodaku, karena bagasi mobil tidak cukup untuk kursi roda, maka aku duduk di depan dan kursi roda di bagian tengah. Hal itu biasa kulakukan jika sopir taksi online tidak keberatan saat kursi rodaku diletakkan di tengah. Jika sopir taksi online tidak berkenan dengan legawa aku harus membatalkannya dan mencari taksi online lain. Tentu saja untuk mendapatkan taksi online sesuai kebutuhan membutuhkan waktu yang relatif lama. Apalagi jika aku pulang berkegiatan pada sore hari, bisa-bisa aku sampai rumah malam.


***


Difabel menggunakan jasa transportasi taksi online masih dianggap hal yang aneh di masyarakat. Hal ini juga tak lepas dari stigma negatif yang terlanjur melekat untuk difabel. Jika difabel itu tidak bisa apa-apa. Hanya berdiam diri di rumah. Aku menyadari hal itu. Ada kekhawatiran dari sopir taksi online jika membawa penumpang difabel. Apalagi kalau perginya tanpa pendamping.


Kekhawatiran itu juga dialami keluargaku, terutama ibu. Saat aku meminta izin beliau untuk pergi beraktifitas menggunakan taksi online.


“Pergi naik taksi online sendirian sama orang yang tidak dikenal? Nanti siapa yang mau nolong angkat dan nurunin kursi rodanya? Siapa nanti yang bantu dorong kursi roda dan bantu bopong kamu pindah dari kursi roda ke mobil? Apa nanti sopirnya mau bantu?” Itulah reaksi Ibu. Aku memahami kekhawatiran ibu. Aku mencoba berpikir dan mencari jawaban yang tepat agar ibu memberikan izin.


“Mau gimana lagi bu, ini cara satu-satunya. Masa bergantung sama jemputan. Dengan naik taksi online kan juga bisa melatih kemandirian. InsyaAllah, semua baik-baik aja, bu.” Ya, awal bergabung di Komunitas Sahabat Difabel aku memang dijemput dan diantar oleh relawan saat berkegiatan. Namun antar jemput itu hanya berlangsung lebih kurang tiga bulan karena relawan tersebut sudah memperoleh pekerjaan.


Akhirnya ibu memberikanku izin untuk pergi menggunakan taksi online, karena ibu melihat semangat dan kesungguhanku untuk berorganisasi serta keingintahuanku untuk mengetahui dunia difabel lebih dalam yang akhirnya mampu mengalahkan rasa kekhawatiran dan kecemasan yang ibu rasakan.

***

Meski sudah tiga tahun lebih aku menggunakan taksi online, tapi aku masih saja merasakan perlakuan yang tidak semestinya dari sopir taksi online. Dari tatapan aneh saat melihatku, karena aku memakai kursi roda. Juga pertanyaan yang sering ditanyakan oleh sopir taksi online.


“Apakah aku tahu alamat rumahku? Dan nanti kalau sudah sampai rumah ada orang yang bantu atau tidak?”


“Bapak tenang saja, saya tahu alamat rumah saya, karena saya sudah sering menggunakan jasa taksi online. Dan ketika pulang saya sudah komunikasi dengan orang tua di rumah. Jadi bapak tidak perlu khawatir,” jelasku.


Aku heran, apa karena difabel lalu dikira tidak tahu alamat rumahnya sendiri. Meski difabel tak berarti bisa dicap bodoh, kan? Aku memang seorang difabel, tapi aku hanya mengalami keterbatasan fisik saja, bukan kemampuan kognitif. Memang harus berbesar hati jika harus berhadapan dengan orang yang berpikiran sempit. Karena aku sadar ternyata selama menggunakan jasa taksi online, masih banyak orang yang belum paham apa itu difabel. Yang mereka tahu adalah cacat dan kata cacat itu berkonotasi negatif. Mengarah pada produk gagal. Sementara difabel adalah makhluk ciptaan Allah dan tidak ada ciptaan-Nya yang gagal. Semua dilahirkan ke dunia oleh Allah dalam keadaan sempurna. Hanya manusia sajalah yang sering menganggap dirinya sempurna dibanding dengan yang lainnya.


Menggunakan jasa taksi online adalah salah satu caraku untuk menembus batas dalam keterbatasan sekaligus mengedukasi kepada masyarakat tentang difabel, bahwa kami ada. Namun sayangnya terkadang keberadaannya sering terabaikan.


Aku ingin terciptanya masyarakat yang inklusi. Menerima dan melihat difabel bukan dengan rasa iba. Melainkan dari kemampuan yang dimiliki. Memang tak mudah untuk menggapai inklusi dan kesetaraan. Namun bukan berarti hal yang mustahil. Semua itu bisa dicapai jika kita saling bergandeng tangan dan saling mendukung. Untuk menggapai inklusi dan kesetaraan haruslah dimulai dari difabel itu sendiri. Difabel harus terbuka dan berbaur dengan masyarakat.


SELESAI





15 tampilan0 komentar

Postingan Terakhir

Lihat Semua
bottom of page