top of page

Menguak Filosofi Dupa dalam Kehidupan Tradisi Tionghoa

SURABAYA - analisapost.com | Asap dupa yang mengepul saat sembahyang di klenteng bukan sekadar bagian dari ritual simbolis. Di balik keharumannya, tersimpan makna spiritual yang diwariskan secara turun-temurun oleh leluhur umat Tionghoa.

Tradisi leluhur yang terus dijaga umat Tionghoa
Tradisi leluhur yang terus dijaga umat Tionghoa (Foto: Div)

Dupa atau hio merupakan perlengkapan doa khas Tionghoa yang digunakan dalam berbagai ritual. Tradisi ini tak hanya dijalankan oleh masyarakat Tionghoa, tetapi juga oleh umat Konghucu, Buddha, dan Hindu meski dengan nama dan tata cara berbeda.


Dalam perbincangan santai di Klenteng Kampung Dukuh, Surabaya, Minggu (8/6), Sekretaris Jenderal Klenteng Indonesia, Purnomo, menjelaskan bahwa jumlah batang dupa yang dibakar memiliki makna filosofi tersendiri.


Tradisi ini dipercaya berakar dari kebudayaan kuno Asia, ketika dupa digunakan sebagai media komunikasi dengan dunia spiritual.


ā€œAsap hio dipercaya membawa doa dan harapan ke langit. Ia menjadi jembatan antara manusia dan entitas spiritual,ā€ ujar Purnomo kepada awak media AnalisaPost.


Makna Filosofis Jumlah Hio

Masyarakat Tionghoa meyakini bahwa jumlah batang hio yang dibakar mengandung simbol dan filosofi tersendiri. Berikut penjelasannya:

  1. Satu Hio

    Melambangkan doa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Menjadi simbol keesaan dan ketulusan pengabdian spiritual.

  2. Dua Hio

    Simbol keseimbangan Yin dan Yang, sekaligus penghormatan kepada ayah dan ibu.

  3. Tiga Hio

    Melambangkan keselarasan antara langit, bumi, dan manusia.

  4. Empat Hio

    Dalam tradisi Hokkian, mencerminkan empat penjuru mata angin utara, timur, selatan, dan barat yang dipandang sebagai "saudara" alam semesta.

  5. Lima Hio

    Merepresentasikan lima elemen dasar kehidupan: kayu, api, tanah, logam, dan air.

  6. Enam Hio

    Simbol dari Liu He, atau enam arah keberkahan dan kedamaian.

  7. Tujuh Hio

    Merujuk pada tujuh bintang utama Rasi Biduk, yang dianggap suci. Pembakaran tujuh hio sering kali dihubungkan dengan doa kepada alam semesta.

  8. Delapan Hio

    Mewakili delapan arah mata angin, sebagai lambang doa yang mencakup seluruh penjuru alam. Delapan arah mata angin yakni timur, tenggara, selatan, barat daya, barat, barat laut, utara, dan timur laut. Delapan hio mencerminkan doa yang meliputi seluruh alam semesta.

  9. Sembilan Hio

    Angka tertinggi dalam tradisi Tionghoa. Melambangkan sembilan istana surgawi sebagai lambang kesempurnaan spiritual.

Romo Dedy Adrianto, Ketua Walubi Surabaya (kiri) Joko Sawrwono, Pengurus Gereja GKJW (tengah) (Sekretaris Jenderal Klenteng Indonesia, Purnomo (kanan)
Romo Dedy Adrianto, Ketua Walubi Surabaya (kiri) Joko Sawrwono, Pengurus Gereja GKJW (tengah) (Sekretaris Jenderal Klenteng Indonesia, Purnomo (kanan) (Foto: Div)

ā€œJumlah batang dupa yang dibakar seperti 1, 2, 3, hingga 9 batang, bukan asal pilih. Setiap jumlah punya makna filosofi tersendiri,ā€ terangnya.


Yin-Yang dan Doa dalam Kepulan Asap

Filosofi Yin dan Yang juga tercermin dalam pembakaran dupa. Dua unsur yang bertolak belakang namun saling melengkapi itu diyakini menciptakan keharmonisan. Pembakaran dupa pun dipahami sebagai komunikasi spiritual antara manusia dan semesta.


"Dupa juga membantu konsentrasi. Dahulu, belum ada parfum atau pengharum ruangan. Dupa digunakan agar suasana lebih nyaman dan menenangkan, terutama saat para murid belajar,ā€ ungkap Purnomo.


Ia menambahkan, asap dupa yang membumbung ke langit menjadi simbol doa yang naik menuju Tuhan atau leluhur. Tradisi ini tidak hanya dijalankan di Surabaya, tetapi juga di berbagai klenteng di seluruh dunia.


Walaupun jumlah batang dupa bisa berbeda, esensinya tetap sama: sebagai bentuk penghormatan, permohonan, dan pengingat akan ajaran leluhur.

Salah satu umat di klenteng yang sedang menyalakan dupa untuk berdoa
Salah satu umat di klenteng yang sedang menyalakan dupa untuk berdoa (Foto: Div)

ā€œMeskipun zaman terus berubah, makna dari pembakaran dupa tetap terjaga. Ini bukan soal jumlah, tapi tentang niat dan ketulusan dalam berdoa,ā€ tegas Romo Dedy Adrianto, Ketua Walubi Surabaya.


Dengan menjaga tradisi ini, umat Tionghoa diharapkan tidak hanya melestarikan budaya, tetapi juga memperdalam spiritualitas di tengah arus modernitas.(Dna)


Dapatkan update berita pilihan serta informasi menarik lainnya setiap hari di analisapost.com

Comments


bottom of page
analisa post 17.50 (0 menit yang lalu) kepada saya