Rumah Tuhan di Tanah Impian
top of page

Rumah Tuhan di Tanah Impian


Foto : Febriani (Juara I Penulis cerpen dari Karya Tulis Disabilitas Fordiva)

Penulis : Febrina Bayurini


Senja sudah terbenam, suara adzan dan iqomat sudah lewat beberapa waktu lalu. Pasti sekarang sholat maghrib berjamaah sedang berlaku di Masjid desa yang hanya berjarak 200 meter dari rumah Mak Saroh. Bangkit dari kursi, Mak Saroh masuk ke dalam rumah menyiapkan makan malam untuk kedua anak lelakinya yang sebentar lagi pulang dari masjid.


Masih beralas semen, rumah Mak Saroh tidak bisa dibilang mewah, tapi juga tidak reot. Tanah warisan berukuran 7x10 meter itu memiliki ruang depan selebar 2,5x7 meter tanpa sekat, ingin disebut ruang tamu tapi hanya ada tikar disisi kiri, tempat keluarga Mak Saroh makan dan bersendau gurau dengan kedua bocah lelakinya, sedang disisi kanan dipenuhi tumpukan karung berisi gabah hasil panen. Sebagian untuk dimakan sendiri, sebagian dijual bila butuh uang, dan sebagian lagi untuk modal berjualan nasi di jalan raya dekat pabrik. Tempat Mak Saroh mencari nafkah


Di bagian belakang ada dua kamar tidur yang berjejer menghadap dapur dan kamar mandi. Kedua kamar tidur berisi dipan kayu dan kasur busa yang sudah usang, tapi cukuplah bagi Mak Saroh dan anak-anaknya melepas lelah.


Sedang halaman depan masih bersisa lahan untuk ditanami aneka sayuran yang sering dipetik untuk teman berjualan nasi bungkus.


Suara derap kaki berlarian masuk rumah, Budi, anak sulung Mak Saroh melintas dan langsung masuk kamar. Raut wajahnya seperti menahan marah. Putra bungsunya, Ahsan mengikuti dari belakang. Wajahnya seperti menahan tangis. Tak terdengar salam masuk rumah seperti biasanya.


"Ada apa le?" Mak Saroh bangkit dan mengelus kepala putranya.


Ahsan memeluk perut Mak Saroh, mengusap air mata dibaju ibunya itu lalu mendongak, "Bapak-bapak di Masjid buk, mereka..."


"Assalamualaikum, Mak Saroh," belum selesai Ahsan menjelaskan, suara pria nyaring terdengar dari depan rumah.


"Waalaikumsalam," sahut Mak Saroh."Oo.. Pak RT, silahkan masuk pak."


"Disini saja Mak Saroh", tolak Pak RT halus.


Perkataan Pak RT membuat Mak Saroh tersadar, akan statusnya sebagai janda yang baru disandang selama 2 minggu ini. Kedepan Mak Saroh harus berhati-hati menerima tamu lelaki untuk menjaga marwahnya sebagai wanita yang tak bersuami.


"Begini Mak Saroh. Saya disini menyampaikan keluhan warga terkait putra-putra Mak Saroh." Hening sejenak saat Mak Saroh diam menunggu Pak RT meneruskan, "Seringkali anak-anak membuat keributan berebut mic untuk bersholawat, bahkan sampai bertengkar. Tadi juga Budi berkelahi dengan Antok, anak Pak Dullah. Kejadiannya saat sholat maghrib sedang berlangsung. Untung saja saat rokaat ketiga menjelang berakhir, jadi bisa dilerai warga. Badan Antok diduduki dan dipukuli."


"Astaghfirulloh hal adzim", Mak Saroh sangat terkejut sampai menutup mulut dengan tangannya. Sedang Ahsan bersembunyi dibelakang Mak Saroh dengan tetap memeluk perut ibunya dan menyembunyikan wajahnya.


"Benar itu Ahsan?" tanya Mak Saroh.


Suara Ahsan bergetar dalam tangis, "Tapi Mas Budi ndak salah Buk. Antok yang nakal duluan."


Belum sempat Mak Saroh melanjutkan bertanya pada Ahsan. Pak RT menyela.


"Begini Mak Saroh. Siapapun yang bersalah, saya datang kesini sebagai penengah. Tadi Pak Dullah sendiri yang hendak kemari. Tapi saya rasa perkara anak-anak janganlah dibawa panjang. Jadi saya hendak mengingatkan tidak hanya pada Mak Saroh tetapi saya akan berkeliling pada warga yang punya anak dan biasanya sholat di masjid. Agar menjaga ketenangan dan tertib selama di Masjid. Tidak ramai, berisik, bertengkar dan lari-larian."


Menjeda sejenak seakan sungkan, Pak RT melanjutkan, "Tapi terutama untuk Budi, yang memiliki keterbelakangan mental, tolong agar lebih diawasi. Jangan dibiarkan sholat dimasjid sendirian. Lebih baik bersama Mak Saroh, agar lebih mudah mengawasinya. Atau sholat dirumah saja."


Bagai dipukul godam hati Mak Saroh mendengar peringatan dari Pak RT, ditahannya air mata yang hendak keluar. "Baik Pak RT, saya paham." Ucap Mak Saroh lirih.


"Kalau begitu, saya pamit dulu. Monggo Mak Saroh." Pamit Pak RT sambil mengatupkan kedua tangan di dada yang dibalas serupa oleh Mak Saroh.


"Monggo Pak."


***


Memasuki kamar dimana Budi sedang menangis, Mak Saroh mengusap kepala putranya lembut. "Ada apa le? Benar tadi Budi bertengkar dengan Antok?"


"BUDI NDAK SALAH, ANTOK YANG NAKAL!"


"BUDI NDAK SALAH, ANTOK YANG NAKAL!"


Budi berteriak berulang-ulang. Mak Saroh menangis, tangannya berusaha menggapai memeluk tapi putranya tidak mau, tangan Budi memukul udara, kadang mengenai badan Mak Saroh, kadang mengenai kepalanya sendiri.


Akhirnya Mak Saroh mendekap Budi dari belakang dan menenangkannya, agar berhenti menyakiti dirinya sendiri.


"Tadi Antok mengejek Kak Budi duluan Buk, Antok bilang 'Kak Budi kurang satu garis, Kak Budi anak gila ndak punya bapak', terus mereka berkelahi," sambil mengusap air mata dan ingus dengan lengan bajunya, Ahsan bercerita.


Mak Saroh ikut menangis tergugu. 'Anakku tidak gila' batinnya. Tuhan yang mengirim anak ini dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Kami menerima dan mencintai tanpa beda.


Sejak dokter menyampaikan bahwa Budi adalah anak autis, Mak Saroh dan suaminya berlapang dada menerima. Entah kenapa malah masyarakat yang tidak tahu apa-apa malah menghakimi secara sepihak.


***


Setelah salam dalam tahajudnya, Mak Saroh seakan melihat film lawas yang disetel ulang. Kenangan akan almarhum suami Mak Saroh, Kang Parman, seolah terbayang jelas. Tak pernah Kang Parman berkata keras pada keluarganya, selalu ada cara untuk menegur istri dan anaknya dengan cara yang lembut.


Tak pernah absen sholat lima waktu, bahkan sunnah dhuha meski sedang disawah. Kebiasaan itu yang diturunkan pada kedua putranya.


Sejak Budi berusia enam tahun dan Ahsan empat tahun, tiap jumat Kang Parman selalu mengajak kedua putranya sholat jumat naik sepeda motor astrea bututnya, menempuh perjalanan 45 menit menuju masjid di pondok pesantren milik Kyai Marzuki.


Bukan tanpa alasan Kang Parman mengajak kedua anaknya kesana, sebab setelah sholat jumat, Kyai Marzuki mengumpulkan jamaah yang masih anak-anak dan mendongeng cerita nabi dan rosul dengan cara yang sangat menyenangkan. Membuat masjidnya ramai jamaah anak-anak tiap jumat yang sangat antusias menunggu Kyai Marzuki mendongeng.


Bahkan setelah kegiatan mendongeng, mereka disuguhi jamuan makan siang. Kadang dengan lauk seadanya, kadang juga ada ayam goreng bertepung seperti iklan yang sering muncul di televisi.


***

Kejadian hari ini membuat Mak Saroh 'mengadu' pada Tuhan dalam sujudnya, betapa berat cobaannya. Ada suatu tekad yang muncul dalam hatinya.


Tak mau berlarut-larut dalam kepedihan, Mak Saroh beraktivitas seperti biasa, karena hidup harus terus berlanjut. Membesarkan anak tanpa suami membuat Mak Saroh melewatinya dalam keprihatinan. Sebidang sawah warisan peninggalan suami, digarap oleh saudaranya, karena Mak Saroh tak kuat mengolahnya sendiri, hasil panen yang tak seberapa dibagi dua.


Tiap maghrib Mak Saroh ikut sholat di masjid untuk mengawasi kedua anaknya. Jika berhalangan, maka kedua anaknya juga sholat dirumah saja. Begitulah keseharian Mak Saroh menjalani hidupnya.


***

20 tahun kemudian.


Roda angkot berhenti di tepian jalan raya desa. Sepasang kaki bersepatu olahraga turun. Setelah membayar ongkos angkot pria itu berjalan masuk gang, melewati beberapa belokan hingga sejauh 400 meter di ujung jalan penghabisan. Melangkah masuk ke halaman luas sebuah Mushola yang terletak di tepi persawahan.


Banyak anak-anak kecil berlarian berkejaran. "Assalamualaikum." Sapaan pria itu membuat anak-anak serentak menoleh.


"Waalaikumsalam. Horeeee ada Ustadz Ahsan," ramai anak-anak mendekat berebut tangan Ustadz Ahsan untuk salim.


Dari bangunan disebelah mushola nyaring terdengar suara anak-anak mengaji. Ada yang bosan menunggu giliran mengaji dan berlarian di lapangan. Melalui mic mushola mengalun suara sholawat dari bibir-bibir mungil. Kadang ada suara teriakan dan rebutan yang akhirnya ditengahi oleh gurunya.


Ingatan Ahsan seakan kembali pada kejadian di masjid desa 20 tahun yang lalu, menurut cerita yang dituturkan Mak Saroh, sejak hari itu Mak Saroh bertekad menabung. Berapapun pendapatan berjualan nasi, tiap hari Mak Saroh menyisihkan barang 10 sampai 15 ribu yang dimasukkan ke botol besar air mineral. Bila sudah penuh, dibawa ke bank untuk disimpan.


Perjalanan Mak Saroh membesarkan kedua buah hatinya bukan tanpa hambatan. Setiap hari Mak Saroh bangun jam 3 pagi, setelah bertahajud, Mak Saroh mulai menyiapkan dagangan. Daun-daun dibersihkan dan direbus. Tempe dipotong tipis, dan membuat adonan tepung campur bumbu.


Agar mudah berjualan sambil mengasuh Budi, Mak Saroh membuat olahan sayur tanpa kuah. Hanya 2 macam tiap hari. Kadang tumis kecambah dan kacang panjang. Oseng daun pepaya, pecel daun luntas, trancam. Sebisa mungkin memanfaatkan hasil kebun.


Pun lauknya hanya berputar pada telur yang diambil dari kandang ayam peliharaan, ditambah tepung terigu jadilah banyak. Tahu dibacem, ikan asin dan yang paling membuat rindu pelanggan adalah gimbal tempe Mak Saroh yang tipis dan kriuk. Semua bahan termasuk nasi sudah siap dari rumah, di warung kecil berukuran 2x2 meter terbuat dari anyaman bambu, dijalan raya dekat beberapa pabrik, tepat jam 5.30 disana Mak Saroh sudah membuka warung kecilnya, satu meja dan satu kursi di depan warung bambu. Karena semua masakan sudah siap, Mak Saroh tinggal menggoreng gimbal tempe. Agar fresh.


Harga nasi bungkus 5 ribu sangat terjangkau bagi pekerja pabrik yang gajinya tak seberapa. Sering mereka beli sekalian untuk makan siang. Buat bujang yang kerja di perantauan, lebih irit.


Sementara Budi, akan duduk di dalam warung beralas tikar. Memegang buku bergambar besar yang berulang dibaca tiap hari. Mak Saroh tidak mempunya waktu dan biaya untuk membawa putranya yang autis ke sekolah dengan penanganan dan kurikulum khusus. Jadi sambil berjualan, saat sepi pembeli, Mak Saroh mengajari Budi membaca. Tak pernah lama Mak Saroh berjualan, hanya sampai jam 9 saja. Selanjutnya Mak Saroh dirumah mengerjakan anyaman besek, ambil garapan dari seorang juragan di desanya.


Beruntung ada bu bidan desa yang juga seorang pemerhati disabilitas. Bu bidanlah yang banyak mengajari bagaimana mengasuh putra berkebutuhan khusus, bagaimana cara mengajak belajar. Kata bu bidan, Budi adalah anak dengan autisme kategori ringan. Tetapi tetap Mak Saroh harus memperhatikan bagaimana mengasuh Budi. Juga memperhatikan asupan makanannya.


Meski memiliki seorang anak autis, kasih sayang Mak Saroh pada putranya yang lain, Ahsan, tidak berbeda. Ahsan bersekolah di SD Negeri di desanya, berbekal sepeda butut yang dikayuh tiap hari, Ahsan tumbuh menjadi anak yang mandiri, disiplin dan jujur, seperti pesan ayahnya selalu. Tiap hari Ahsan mengajak kakaknya bermain, tak pernah tampak Ahsan merasa malu pada kondisi kakaknya.


Setelah menyelesaikan bangku sekolah dasar, Ahsan meminta mondok pada ibunya. "Di pondok pesantren Kyai Marzuki saja buk," pintanya. Memang pondok Kyai Marzuki bukanlah pondok modern, orangtua dibebaskan membayar seiklasnya. Bahkan kadang para orangtua santri membawa beras dan hasil bumi. Pun begitu, Pak Kyai tetap mengasuh santrinya bagai anak sendiri.


Mengenyam pendidikan hingga jenjang Madrasah Tsanawiyah di pondok pesantren Kyai Marzuki, dirasa cukup oleh Ahsan. Sebenarnya Ahsan ingin bekerja saja selepas lulus karena tak tega melihat ibunya banting tulang tiap hari. Tapi ibunya tak mengijinkan. "Sekolah yang tinggi le, belajarlah ilmu sebanyak mungkin dan amalkan dijalan Allah." Ahsan hendak menolak, "Tabungan ibu cukup untuk biayamu. Jangan menolak niat baik orangtua. Balaslah dengan menjadi orang yang berguna bagi sesama," ucapan ibunya membuat Ahsan menangis tak mampu menolak.


Mak Saroh meminta Ahsan melanjutkan pendidikan Aliyah di Pesantren Tebu Ireng, karena tidak terlalu jauh dari kota mereka tinggal. Kecakapan dan kepandaian Ahsan, mengantarnya mendapat beasiswa S1 di tempat yang sama. Juga mendapat pekerjaan sambilan. Rupanya Ahsan memiliki jiwa seorang pendidik. Pengurus pondok menawarkan pekerjaan tetap sebagai tenaga pengajar sekaligus melanjutkan S2, tapi Ahsan menolak.


Sudah waktunya untuk pulang, mengamalkan ilmunya. Hanya beberapa bulan saja Ahsan membantu mengolah sawah sambil mengajar anak-anak desa mengaji di masjid. Mak Saroh mengambil seluruh tabungannya, membeli sebidang tanah diujung jalan milik tetangga yang kebetulan sedang butuh uang cepat.


Mak Saroh meniatkan tanah tersebut untuk wakaf dan dibangunlah mushola kecil. Awalnya hanya sebuah bangunan kecil berbahan batu bata dan kayu. Sesuai keinginan Mak Saroh yang disampaikan pada Ahsan, di mushola ini anak-anak bebas belajar, bebas bersholawat, bebas berlatih adzan, kalau ada salah, tugas para pembimbing disini yang membenarkan. Tujuan Mak Saroh adalah agar anak-anak belajar mencintai masjid, menjadikannya tempat yang menyenangkan dan betah dikunjungi, bukan tempat yang kaku dan penuh aturan. Agar anak-anak mempelajari agamanya dengan cara yang gembira.


Dan disinilah Ahsan sekarang. Menjadi ketua Yayasan Anak Ceria. Sungguh Ahsan tidak menyangka mushola kecil ini akan berkembang sangat pesat. Awalnya disini Ahsan hanya mengajar mengaji untuk anak-anak di desanya.


Mushola dan yayasan yang dikelola Ahsan berkembang menjadi tempat belajar yang inklusi, baik untuk anak berkebutuhan khusus, maupun anak non difabel dan ibu-ibu yang hendak belajar mengaji.


Dan seperti kata ayahnya bahwa setiap anak akan membawa hal istimewa masing-masing. Budi-pun menjadi ustadz pengajar di mushola. Tiap sore, pelajaran mendongeng kisah nabi dan rosul adalah sesi yang paling ditunggu anak-anak. Rupanya tiap libur mondok, saat Ahsan pulang selalu mengajari kakaknya membaca kisah rosul melalui buku bergambar. Hal tersebut menjadi minat Budi dan terus didalami.


Dengan konsep mushola ramah anak, dan biaya mengaji seiklasnya, membuat mushola kecil itu semakin ramai. Ahsan yang juga relawan di kegiatan disabilitas, menemukan jodohnya saat mencari relawan guru mengaji Alqur'an braile untuk anak tetangga yang tuna netra dan ingin belajar mengaji.


Sekar namanya. Sekar memiliki adik tuna netra yang membuatnya belajar mengaji braile agar bisa diajarkan pada adiknya. Setelah menikah dengan Ahsan, Sekar ikut serta membantu mengelola mushola, bahkan murid mengaji brailenya ada yang sudah menjadi guru mengaji juga di kota sebelah.


Karena aktif di kegiatan disabilitas, bersama rekan-rekan relawannya Ahsan juga membuka kelas belajar anak berkebutuhan khusus (ABK), yang bisa diakses gratis untuk masyarakat yang tidak mampu.


Kegiatan baik ini banyak didengar orang, sehingga donatur mulai berdatangan. Ada yang menyumbangkan peralatan belajar, buku, sembako, bahan bangunan, juga infaq dana untuk pembangunan dan perluasan mushola serta ruang belajar, bahkan sekedar menganti uang bensin para relawan mengajar.


Bahkan ada donor yang menyumbang mobil, yang kemudian dimodifikasi agar bisa menampung disabilitas berkursi roda. Mobil itu terkadang digunakan untuk mengantar ABK yang memerlukan terapi kerumah sakit.


Dan seperti hari Jumat ini. Mobil tersebut datang dan menurunkan beberapa ABK berkursi roda untuk bersama menunaikan sholat Jumat. Hal tersebut awalnya dari curhat murid ABK yang mengeluh bahwa ingin berangkat sholat Jumat, tapi terkendala transportasi, untuk naik taxi online akan mengeluarkan biaya mahal.


Tak berhenti sampai disitu saja kegiatan ramah disabilitas di mushola ini. Beberapa usaha sosial mengajak bekerjasama, mereka melatih teman disabilitas dan ibu dari ABK agar dapat memiliki keahlian dan pendapatan tambahan sehingga mereka bisa mandiri secara ekonomi.


Sungguh mushola kecil ini adalah wujud cinta Mak Saroh dan Ahsan pada Budi, yang juga mendorong mereka untuk berbuat kebaikan pada sesamanya yang membutuhkan dan menumbuhkan sikap mencintai Tuhan dengan cara yang ceria.


** TAMAT **


8 tampilan0 komentar

Postingan Terakhir

Lihat Semua
bottom of page