Universitas Ciputra Gelar Diskusi Sejarah Nasib Hoakiau di Indonesia dan Tragedi Mei 1998
- analisapost
- 10 Mei
- 3 menit membaca
Diperbarui: 26 Mei
SURABAYA - analisapost.co | Dalam rangka memperingati 27 tahun Tragedi Mei 1998, Universitas Ciputra menggelar diskusi sejarah bertajuk āNasib Hoakiau di Indonesia: Perang Jawa dan Mei 1998ā pada Sabtu (10/5) pagi.

Acara yang berlangsung mulai pukul 08.30 hingga 10.30 WIB ini menghadirkan sejarawan terkemuka asal Inggris, Prof. Peter B.R. Carey, Ph.D., sebagai narasumber utama, dan dimoderatori oleh akademisi Shinta Devi, M.A.
Diskusi ini merupakan bagian dari upaya akademik dan sosial dalam membangun kesadaran kolektif atas pentingnya memahami sejarah sebagai dasar bagi upaya merawat keberagaman.
Kegiatan ini terselenggara berkat kolaborasi antara Universitas Ciputra, Komunitas Roemah Bhineka, Perhimpunan Indonesia Tionghoa (INTI) Jawa Timur, serta jaringan Gusdurian.
Dalam pemaparannya, Prof. Peter Carey menyoroti dua periode penting dalam sejarah Indonesia yang berdampak besar terhadap etnis Tionghoa: Perang Jawa (1825ā1830) yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro, serta Tragedi Mei 1998 yang menandai titik kritis dalam sejarah sosial-politik Indonesia modern.
Menurut Prof. Carey, memahami dinamika etnis Tionghoa di Nusantara tidak bisa dilepaskan dari rentang sejarah panjang yang membentuknya, termasuk peran mereka dalam ekonomi, politik, serta pengalaman diskriminasi dan kekerasan yang kerap kali terlupakan dalam narasi besar sejarah Indonesia.
"Tragedi Mei 1998 bukan hanya soal kekerasan terhadap individu dan properti, tetapi menyangkut trauma kolektif yang masih membekas hingga kini. Ini penting untuk dikaji, bukan untuk membuka luka lama, melainkan agar kita tidak mengulanginya," ujar Prof. Carey kepada awak media AanalisaPost.
Ia dikenal luas atas risetnya mengenai sejarah Indonesia, khususnya perjalanan masyarakat Tionghoa (Hoakiau) dan tragedi kemanusiaan yang mereka alami, termasuk kerusuhan Mei 1998 yang menewaskan ratusan orang dan mengguncang tatanan politik nasional.

Ia menegaskan perlunya ruang dialog lintas komunitas sebagai langkah membangun Indonesia yang inklusif dan mencegah berulangnya kekerasan serta diskriminasi terhadap kelompok tertentu.
Sebagai Moderator dan sejarahwati Universitas Ciputra, Shinta Devi, M.A., menyatakan bahwa acara ini juga merupakan bagian dari komitmen mereka dalam membangun kesadaran sejarah dan toleransi antar kelompok masyarakat.
āKami berharap diskusi ini membuka ruang pemahaman dan empati antar generasi, terutama di tengah maraknya disinformasi dan minimnya pembahasan sejarah sensitif di ruang publik,ā ucap Shinta di hadapan peserta.
Dalam sesi diskusi juga menghadirkan Ulin, perwakilan dari komunitas Boen Hian Tong Semarang organisasi sosial budaya Tionghoa peranakan tertua di kota itu, yang telah berdiri sejak 9 Februari 1876 dan kini dikenal dengan nama Perkumpulan Sosial Budaya Rasa Dharma.
Ulin menyampaikan bahwa peristiwa Mei 1998 memiliki arti emosional yang mendalam bagi masyarakat Tionghoa di Indonesia, khususnya bagi para penyintas dan generasi muda.
āSetiap peringatan Mei 1998, komunitas kami mengadakan tradisi makan rujak pare dengan sambal kecombrang. Ini bukan sekadar makanan, tetapi simbol rasa pahit dan getir yang pernah dialami. Pare menggambarkan kepedihan, sementara kecombrang melambangkan harapan dan penyembuhan,ā kata Ulin kepada awak media AnalisaPost.
āKita ingin masyarakat, khususnya generasi muda, tidak lupa bahwa Indonesia dibangun di atas keberagaman. Sejarah Mei 1998 harus terus diingat agar bangsa ini bisa belajar dan menjadi lebih manusiawi, sehingga mereka tidak melupakan sejarah, sebagai cermin dalam menentukan langkah kedepan," terangnya.

Menurutnya, melalui peristiwa seperti ini, generasi muda bisa belajar bahwa identitas dan keberagaman adalah kekuatan, bukan ancaman. Ia juga menekankan pentingnya mengenali peran komunitas Tionghoa dalam sejarah Indonesia, agar rekonsiliasi tidak hanya menjadi wacana, melainkan juga praktik budaya yang berkesinambungan.
Kegiatan ini diakhiri dengan sesi tanya jawab yang berlangsung hangat dan interaktif antara peserta dan narasumber. Diskusi kemudian ditutup dengan foto bersama serta ritual makan bersama rujak pare dan sambal kecombrang, sebagai penanda simbolik atas penghormatan terhadap memori kolektif peristiwa Mei 1998.
Penyelenggara berharap, diskusi semacam ini dapat menjadi agenda tahunan yang terus memperkuat pemahaman lintas generasi akan pentingnya sejarah, toleransi, dan keberagaman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. (Dna)
Dapatkan update berita pilihan serta informasi menarik lainnya setiap hari di analisapost.com
Comentarios