top of page

Wayang Potehi, Jejak Budaya Tionghoa yang Terus Bertahan di Surabaya

SURABAYA - analisapost.com |  Suasana terasa berbeda di Klenteng Hong Tiek Hian, Jl. Dukuh No. 23, Surabaya, pada Sabtu pagi (24/5/25). Alunan musik tradisional Tiongkok dari alat musik seperti erhu, tambur, twa lo (gong besar), seruling, hingga gitar, bersahut-sahutan dari dalam klenteng.

Wayang Potehi dalam sebuah pementasan
Wayang Potehi dalam sebuah pementasan (Foto: Div)

Irama musik itu mengiringi gerakan boneka Wayang Potehi dalam sebuah pementasan yang digelar pukul 09.00–11.00 WIB, menarik perhatian para pengunjung dan pegiat budaya.


Pertunjukan kali ini dibawakan oleh dalang senior Sukar Mudjiono, mengusung tema "Nyeni Budaya Bareng Yuk!". Acara ini menjadi ajakan terbuka kepada masyarakat untuk ikut melestarikan kesenian tradisional, khususnya Wayang Potehi yang merupakan bagian dari warisan budaya Tionghoa di Indonesia.


Menurut Sukar, pertunjukan Wayang Potehi sudah rutin digelar di Klenteng Hong Tiek Hian yang juga dikenal sebagai Klenteng Dukuh sejak tahun 1960-an, meski kadang berlangsung tanpa penonton.


Wayang Potehi telah menjadi bentuk persembahan kepada dewa-dewi. Karena itu, pementasan tetap berjalan setiap hari sebagai bagian dari tradisi keagamaan dan budaya,” ujarnya kepada awak media AnalisaPost.


Setiap hari, pertunjukan berlangsung sekitar 2–3 jam. Cerita dibawakan secara berseri, sehingga satu kisah utuh dapat berlangsung beberapa hari.


“Tadi itu cuma cuplikan dari cerita tentang usaha merebut Kota Kehidupan, kisah 18 raja pemberontak. Ceritanya masih panjang,” ujar Sukar kepada awak media AnalisaPost.


Meski rutin tampil, Sukar mengakui bahwa mempertahankan eksistensi kesenian ini tidaklah mudah. Seperti banyak kesenian tradisional lain, Wayang Potehi menghadapi tantangan dalam menjangkau generasi muda.“Anak-anak sekarang lebih suka main gadget,” katanya.

Dalang senior Sukar Mudjiono dalam sebuah pementasan Wayang Potehi
Dalang senior Sukar Mudjiono dalam sebuah pementasan Wayang Potehi (Foto: Div)

Berbagai upaya dilakukan untuk mengatasi hal tersebut, mulai dari tampil di pusat perbelanjaan hingga ikut meramaikan perayaan Imlek di luar kota. Kelompok Sukar bahkan pernah berkolaborasi dengan kesenian lain demi menjangkau audiens yang lebih luas.


“Kami berharap anak-anak muda bisa mengenal dan tertarik belajar Wayang Potehi,” ujar salah satu pemain musik.


Wayang Potehi sendiri merupakan seni pertunjukan khas budaya peranakan Tionghoa-Jawa. Boneka yang digunakan terbuat dari kayu waru atau mahoni lunak, dibalut dengan kostum tradisional Tiongkok. Bahasa yang digunakan merupakan campuran dari Mandarin, Indonesia, dan Jawa.


Menariknya, meski pertunjukan digelar setiap hari, saat puncak perayaan Imlek nanti, Wayang Potehi justru tidak akan ditampilkan di Klenteng Hong Tiek Hian.


“Pas Imlek nanti, kita libur main wayang. Tapi diganti dengan pertunjukan alat musik Tiongkok. Jadi saya dan teman-teman dari kelompok Lima Merpati hanya akan main musik saat Imlek,” ucapnya.


Ia menegaskan bahwa Wayang Potehi bukan sekadar hiburan, melainkan juga media pendidikan dan pelestarian nilai budaya. “Harapan saya, generasi muda bisa lebih mengenal dan mencintai seni tradisi yang sarat makna ini,” tuturnya usai pertunjukan.


Penonton yang hadir tampak antusias mengikuti cerita yang dibawakan penuh ekspresi, meski hanya melalui boneka kain yang dimainkan dari balik panggung kayu kecil. Anak-anak hingga orang dewasa terlihat terpukau oleh suara khas dalang, alunan musik pengiring, serta gerak dinamis tokoh-tokoh wayang.

Watik Qurrotu A'yunin, mahasiswi UNESA
Watik Qurrotu A'yunin, mahasiswi UNESA (Foto: Div)

Pementasan ini merupakan bagian dari upaya Klenteng Hong Tiek Hian untuk membuka ruang interaksi lintas budaya, sekaligus memperkenalkan kekayaan seni tradisi kepada publik secara lebih luas.


Salah satu Mahasiswi dari UNESA, Watik Qurrotu A'yunin, saat di tanya awak media AnalisaPost terkait kehadirannya mengatakan, "Ini pertama kalinya saya lihat Wayang Potehi secara langsung. Karena saya cari informasi di internet sangat minim sekali, oleh karena itu saya datang kesini ingin ngobrol langsung dengan dalangnya untuk tanya-tanya," terangnya.


"Saya juga ingin mengetahui cerita-cerita dari wayang Potehi karena saya lihat berbeda dengan wayang dari tempat kita. Ternyata seru dan banyak pesan moralnya,” tutur Watik sambil tertawa.


Dengan gelaran seperti ini, diharapkan Wayang Potehi dapat terus hidup dan berkembang sebagai bagian dari identitas budaya yang inklusif dan penuh warna di tengah masyarakat multikultural seperti Surabaya.(Dna)


Dapatkan update berita pilihan serta informasi menarik lainnya setiap hari di analisapost.com

Komentar


bottom of page
analisa post 17.50 (0 menit yang lalu) kepada saya