Greenpeace: Surabaya, Kota Terpanas Yang Terkepung Limbah Berbahaya
top of page

Greenpeace: Surabaya, Kota Terpanas Yang Terkepung Limbah Berbahaya

SURABAYA -analisapost.com | Surabaya menjadi kota keempat yang disinggahi tim pesepeda Chasing The Shadow Greenpeace. Di kota terbesar kedua setelah Jakarta ini, tema yang akan diangkat adalah tentang bagaimana lingkungan di Surabaya dan sekitarnya rusak secara permanen akibat kegiatan sektor ekstraktif dan pengolahan limbah B3 yang tak bertanggung jawab.

Para volunteer yang menuliskan harapan-harapan mereka (Foto: Istimewa)

Selama 2 hari mulai tanggal 5-6 November, berbagai acara seperti pameran, workshop dan pertunjukan musik diadakan di Vin Autism Galerry, areal G Walk, Junction TL 6 Jl. Citraland Surabaya No.11, Sambikerep, Kec. Sambikerep, Kota Surabaya.


Sebagai daerah pesisir, Surabaya sering menghadapi abrasi dan rob di sepanjang garis pantainya. Tercatat pada periode Juni 2022, banjir rob merendam wilayah pesisir barat dan timur Surabaya setinggi 20-40 cm.


Menurut peneliti Teknik Geofisika Institut Teknologi Surabaya (ITS), banjir rob yang semakin sering melanda pesisir Surabaya disebabkan oleh dua hal yaitu kenaikan muka air laut dan penurunan muka air tanah (land subsidence). Serupa dengan yang terjadi di Jakarta dan Semarang.


Surabaya juga tak luput dari kejadian cuaca ekstrem. Ibu kota Jawa Timur ini pernah mengalami hujan es pada Februari 2022. Namun berselang tiga bulan kemudian, Surabaya justru menjadi wilayah terpanas di negeri ini dengan suhu tertinggi yaitu 36,4℃, menurut keterangan BMKG.


“Di Surabaya kami akan menyoroti beberapa persoalan lingkungan. Di antaranya kasus semburan lumpur Lapindo yang sudah 16 tahun lamanya dan belum juga selesai hingga hari ini, serta pengolahan limbah B3 yang tidak bertanggung jawab di Lakardowo sejak 2008," kata Hadi Priyanto, Juru Kampanye


Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia. Sekitar 25 ribu jiwa dari delapan desa di tiga kecamatan terpaksa harus kehilangan lahan dan rumahnya karena tenggelam dan hilang akibat semburan lumpur. Proses penggantian kerugian pun belum selesai hingga kini.


Pemerintah pernah mengucurkan dana pinjaman sebesar Rp 773,38 miliar kepada PT Lapindo Brantas (di bawah Grup Bakrie) pada Juli 2015 untuk menanggulangi bencana ini dan mengganti rugi mereka yang terdampak. Hingga tahun ke 12, pemerintah telah menggelontorkan dana sebesar Rp 11,27 triliun untuk ganti rugi korban Lapindo.

Hal ini seharusnya menjadi tanggung jawab perusahaan, bukan dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).


Perwakilan warga Porong, Suharwati, mengatakan lumpur Lapindo berimbas pada kesehatan warga. Catatan tiga pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas) setempat menemukan tingginya angka ISPA di masyarakat. Pada 2016, hasil cek kesehatan menemukan pembengkakan jantung (cardiomegali) yang diderita sejumlah warga.


Adapun pada 2019 pemantauan yang sama menemukan kelainan kandung kemih pada beberapa warga perempuan.


Kendati begitu, hingga saat ini belum pernah ada pemantauan serius dari pemerintah, misalnya dari Dinas Kesehatan. “Hingga saat ini belum ada informasi jelas tentang kondisi kesehatan yang sebenarnya di wilayah Porong,” ujar Suharwati.


Beranjak dari Porong, persoalan lingkungan menahun juga terjadi di Lakardowo. Sebuah perusahaan pengumpul, pengangkut, dan pengolah limbah B3 (PT PRIA) melakukan praktik tidak bertanggung jawab sehingga mencemari tanah, air, hingga udara wilayah sekitar.


Warga Lakardowo telah hidup berdampingan dengan kepulan asap hitam serta air yang keruh selama satu dasawarsa lebih. Berbagai penyakit diderita warga sekitar, antara lain ISPA dan gatal pada kulit (dermatitis) akibat air dan udara mereka tercemar.


Verifikasi laboratorium Badan Lingkungan Hidup (BLH) Jawa Timur mencatat kadar pencemaran di kawasan ini sudah melebihi baku mutu. Sekitar 60% sumur warga Lakardowo diduga tercemar limbah B3.


Sutamah, perwakilan masyarakat Lakardowo, berharap pemerintah menyelesaikan masalah di Lakardowo.


Ia merujuk rekomendasi Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat pada 2016, yakni agar PT PRIA memulihkan kondisi lingkungan di Lakardowo.


Nyatanya, kata dia, perusahaan masih menimbun limbah B3 yang mengakibatkan warga menderita penyakit kulit akibat sumur tercemar, serta menghirup bau menyengat dari asap pembakaran.


“Kami ini hanya petani, butuh perjuangan ini dibantu agar masalah kami bisa selesai,” ujar Sutamah.


Ketergantungan Indonesia terhadap sektor ekstraktif hingga saat ini telah menyebabkan kerusakan lingkungan yang masif dan krisis iklim serta dampak sosial ekonomi.


Di sektor energi, Indonesia masih bergantung ke batubara di tengah tren global yang sedang bergerak melakukan transisi ke energi bersih terbarukan.


Pemerintah Indonesia bersikap setengah hati dengan tetap membangun 13,8 GW PLTU batubara baru, yang sebagian besar akan berdiri di Pulau Jawa.


Keberadaan PLTU batubara juga menyumbang polusi udara pekat dan banyak kerusakan lingkungan lainnya, khususnya bagi ekosistem pesisir pantai.


Dominasi batubara menunjukkan bahwa relasi kekuasaan dan pebisnis telah berkelindan, serta menghasilkan kebijakan-kebijakan yang hanya menguntungkan sekelompok elite.


Dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia menyebutkan, sektor energi akan menjadi penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar di Indonesia pada 2030 mendatang.


Sebab itu, diperlukan aksi iklim yang nyata dan ambisius pada sektor ini untuk mengurangi dampak krisis iklim.


Sudah saatnya negara-negara di dunia segera meninggalkan energi fosil dan melakukan transisi energi untuk menekan laju perubahan iklim.


Panel ilmiah PBB untuk perubahan iklim (IPCC) pun sudah menegaskan bahwa setidaknya dunia harus menutup 80% PLTU batubara pada 2030, serta meninggalkan batubara secara total di 2040 jika tak ingin terjebak krisis iklim.


Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 yang akan diselenggarakan di Bali pada 15-16 November 2022 di bawah Presidensi Indonesia merupakan kesempatan bagi negara-negara emiter terbesar untuk mendorong percepatan transisi energi berkeadilan secara konkret, terutama melalui pembiayaan transisi energi yang memadai.


Pembiayaan tersebut diperlukan untuk pensiun dini PLTU batu bara dan pengembangan energi bersih terbarukan. Negara-negara G20 yang menguasai sekitar 80 persen perekonomian dunia bertanggung jawab atas sekitar 80 persen emisi global yang menyebabkan krisis iklim.


“Jangan menyerah dengan kondisi lingkungan yang terlanjur rusak parah, tetap berjuanglah untuk anak cucu kita, demi masa depan mereka,” tegas Suharwati.


Krisis iklim bukan lagi proyeksi di masa depan karena sudah terjadi saat ini dan kita semua sudah merasakan dampaknya.


“Sudah saatnya pemerintah mempercepat proses transisi energi menuju energi bersih dan terbarukan, untuk mencegah kerusakan permanen akibat krisis iklim,” tutup Hadi Priyanto.(Ist)


Dapatkan Update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari analisapost.com

100 tampilan0 komentar
bottom of page