top of page

Subak Bali Terancam Hilang oleh Laju Alih Fungsi Lahan

Diperbarui: 11 menit yang lalu

DENPASAR - analisapost.com | Berbicara tentang subak dewasa ini tidak lagi sekadar menyoroti keindahan dan keadiluhungan sistem irigasi tradisional Bali. Pembahasan telah bergeser pada kekhawatiran akan kelangsungan subak sebagai sistem, teknologi tradisional, sekaligus sebagai lahan persawahan.

Subak Sembung Kelurahan Peguyangan, Denpasar Utara yang masih berdiri kokoh di tengah kota
Subak Sembung Kelurahan Peguyangan, Denpasar Utara yang masih berdiri kokoh di tengah kota (Foto: Div)

Ancaman utama terhadap keberlanjutan subak kini adalah pesatnya alih fungsi lahan sesuai data yang didapatkan telah berkurang 1200 hektare pertahun. Pariwisata sering disebut sebagai salah satu penyebab utama rusaknya ekosistem subak, ketika petak-petak sawah berubah menjadi vila dan berbagai fasilitas pendukung industri wisata.


Alih fungsi lahan tidak hanya dipicu oleh investasi ilegal, tetapi juga oleh inkonsistensi birokrasiĀ dalam menerapkan kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Kompromi demi kompromi membuat implementasi RTRW tidak sejalan dengan kondisi ideal yang direncanakan.


Hal tersebut disampaikan langsung oleh Prof. Dr. Ir. I Ketut Suamba, Guru Besar Fakultas Pertanian sekaligus Ketua Pusat Litbang Pertanian (Puslit) Subak Universitas Udayana.


"Kata kuncinya adalah tata ruang harus dibuat secara pasti dengan perhitungan keselarasan lingkungan, dan penerapannya dijamin tanpa celah kompromi," tegas Prof. Suamba.


Ia menilai, RTRW dan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) kerap tidak konsisten dengan kondisi lapangan karena masih menyediakan ruang untuk tawar-menawar. Bila RTRW dan RDTR ditegakkan tegas ruang terbuka hijau tetap ruang terbuka hijau, sawah dilindungi tetap sawah maka alih fungsi lahan dapat ditekan.


"Jangan lagi ketika RTRW sudah ditetapkan dalam peraturan daerah, masih ada ruang untuk tawar-menawar yang kemudian membuka peluang alih fungsi lahan," tambahnya.


Peran Kunci Pemerintah Kota

Menurut Suamba, penegakan RTRW dan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) sepenuhnya bergantung pada komitmen Pemerintah Kota.


Ketegasan Walikota di Bali untuk mengatakan tidakĀ pada pembangunan yang tidak sesuai Perda RTRW menjadi faktor penentu keberlanjutan subak.


Banyak alih fungsi lahan justru terjadi akibat kebijakan yang permisif baik tidak melarang pembangunan di area sawah, maupun memberikan izin berdirinya properti di kawasan pertanian.


Di sisi lain, pendapatan dari bertani tidak sebanding dengan pendapatan dari sektor pariwisata. Kondisi ini mempersempit ruang gerak para pelestari subak dan menurunkan minat generasi muda untuk menjadi petani.


"Tantangan terbesar adalah minat generasi muda yang rendah dan kapasitas produksi yang kecil karena rata-rata kepemilikan lahan hanya 0,3 hektare. Dengan kepemilikan sekecil itu, bertani tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup," jelas Suamba kepada awak media AnalisaPost, Senin (17/11/25).


Selain itu, tidak semua tenaga kerja terserap di sektor pertanian. Hal ini, menurut Suamba, membuat banyak orang enggan menekuni profesi petani.

Prof. Dr. Ir. I Ketut Suamba, Guru Besar Fakultas Pertanian sekaligus Ketua Pusat Litbang Pertanian (Puslit) Subak Universitas Udayana
Prof. Dr. Ir. I Ketut Suamba, Guru Besar Fakultas Pertanian sekaligus Ketua Pusat Litbang Pertanian (Puslit) Subak Universitas Udayana

Subak dan Konsep Tri Hita Karana

Suamba juga menekankan bahwa subak merupakan bagian dari konsep dasar Tri Hita Karana harmoni antara manusia dengan Tuhan, sesama manusia, dan lingkungan.

"Di lahan pertanian, aktivitas ritual berjalan, gotong royong berjalan, hubungan manusia dengan alam juga terjaga. Selama lahan sawah masih ada, pelaksanaan upacara keagamaan tetap hidup,ā€ ujarnya.


Suamba menilai diperlukan skema agar subak mendapat manfaat ekonomi yang setara dari aktivitas pariwisata. Selama ini, subak hanya merasakan sisa-sisa dari nilai ekonomi destinasi wisata yang mengandalkan panorama sawah.


Akibatnya, subak semakin tidak menarik secara ekonomi bagi generasi muda, padahal regenerasi petani merupakan modal penting untuk menjaga kelestariannya.


Prof. Suamba menyampaikan dua harapan utama di tengah maraknya alih fungsi lahan di kota Denpasar berharap subak tetap menjadi kearifan lokal yang mampu di pertahankan sebagai icon Bali salah satunya yang terlihat jelas sebagai benteng terakhir adalah subak Sembung Kelurahan Peguyangan yang masih berdiri kokoh.

  1. Dari sisi petani, adanya komitmen kuat dalam awig-awig subak untuk melarang alih fungsi lahan. Ia mengingatkan bahwa di Bali terdapat keyakinan leluhur bahwa menjual lahan warisan adalah tindakan tabu.

  2. Dari sisi pemerintah Kota, mempunyai insiatif dengan adanya analisis lahan pertanian pangan berkelanjutan dan menyeimbangkan antara jumlah perusahaan sawah yang menghasilkan padi dengan jumlah orang yang mengkonsumsi makanan padi atau beras. jadi adanya analisi itu yang hasilnya adalah seberapa besar arus lahan sawah untuk mencukupi kebutuhan dari masyarakat.

perlu analisis serius dalam menyeimbangkan jumlah lahan sawah produktif dengan kebutuhan konsumsi masyarakat. Dari perhitungan itu akan diperoleh angka pasti luas sawah yang wajib dipertahankan di Bali.


"Dengan analisis itu, bisa diketahui berapa hektare sawah yang harus tetap ada. Dari situ lahir aturan bahwa lahan sawah wajib dilestarikan,ā€ tutup Suamba. (Dna)


Dapatkan update berita pilihan serta informasi menarik lainnya setiap hari di analisapost.com

Komentar


bottom of page
analisa post 17.50 (0 menit yang lalu) kepada saya