Toko Wong Saksi Bisu Tragedi Berdarah 1965 di Jembrana
- analisapost

- 30 Sep
- 3 menit membaca
Diperbarui: 4 Okt
JEMBRANA - analisapost.com | Sebuah bangunan tua, cat putih yang mulai pudar, kusen kayu yang menua, serta bentuk arsitektur lawasnya mengingatkan pada toko-toko tempo dulu yang pernah ramai di kota kecil di Kelurahan Lelateng, Kecamatan Negara, Jembrana, Bali, hingga kini masih berdiri kokoh meski usianya sudah puluhan tahun.

Bangunan berlantai dua yang dikenal dengan nama Toko WongĀ itu diyakini masyarakat setempat sebagai saksi bisu keganasan peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S) di Bali.
Dari cerita warga yang diwariskan turun-temurun, toko berdesain lawas itu pernah menjadi tempat penahanan hingga eksekusi massal terhadap mereka yang dituduh atau dianggap simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI). Tak sedikit yang menyebut ratusan hingga ribuan orang menjadi korban di tempat ini.
Dari pantauan awak media AnalisaPost di lokasi, bangunan berwarna putih itu masih terawat meski beberapa bagian mengalami kerusakan akibat usia. Bagian depan lantai satu, yang dahulu disebut sebagai ākamp tahananā, kini dialihfungsikan menjadi ruko untuk usaha penjualan kasur dan meubel.
Namun jejak kelam masa lalu belum sepenuhnya hilang. Menurut cerita warga dan pengakuan keluarga pemilik, dinding-dinding bangunan sempat dipenuhi lubang bekas peluru, terutama di ruangan depan yang menghadap jalan.
Dari lantai dua, para tahanan yang dikumpulkan di lantai dasar diberondong tembakan hingga tewas. "Darahnya itu, kata orang-orang tua dulu, sampai selutut tingginya di dalam toko," tutur seorang warga yang akrab disapa pak Tut Sonder, Selasa (30/9/25).
Toko Wong disebut sebagai kamp tahanan politik. Dari berbagai penjuru Jembrana, orang-orang yang dituduh simpatisan PKI digiring ke sana. Lantai satu menjadi ruang penahanan, sementara dari lantai dua, peluru-peluru memberondong tubuh-tubuh lemah itu. Jeritan, tangisan, dan doa terakhir bercampur menjadi satu.
Menurutnya, bangunan itu memang pernah menjadi tempat eksekusi. Ratusan tahanan politik yang dituduh PKI dikumpulkan di lantai satu, lalu diberondong dari atas.
"Liu kone mayat kutang (banyak mayat di buang) di sumur tua di Desa Tegal Badeng Timur dan Barat, pantai Baluk Rening, Candikusuma sampai tempat-tempat terpencil," ceritanya kepada awak media AnalisaPost.
Saksi Bisu yang Tak Boleh Terlupakan
Bagi Tafakur Ega (59), anak dari pemilik toko sekarang, cerita-cerita itu bukan sekadar mitos. Ayahnya membeli bangunan ini pada 1972, tujuh tahun setelah tragedi. Saat itu, keluarga mereka baru pindah dari Tabanan ke Jembrana.
Toko Wong masih menyisakan jejak nyata yakni dinding penuh lubang peluru, papan kayu yang retak, serta bau anyir darah yang katanya sulit hilang bertahun-tahun lamanya.

"Orang tua kami baru ke sini tahun 1972. Dulu waktu dibeli, kondisinya masih sama seperti usai peristiwa itu. Banyak bekas tembakan di tembok dan kayu,ā ujar Ega.
Ega menambahkan, khusus di area belakang toko terdapat empat sumur. Salah satunya dipakai sebagai tempat pembuangan jenazah. Setelah tragedi usai, keluarga korban mendatangi lokasi untuk mencari sanak saudara mereka.
"Jenazah sembilan orang diangkat dari sumur belakang toko. Setelah itu sumurnya dibersihkan dengan upacara, lalu diuruk tanah. Sekarang ditanami tebu. Dua sumur lain juga ditutup, dan satu masih dipakai,ā jelasnya.
Kendati memiliki sejarah kelam, keluarga Ega mengaku tidak pernah mengalami gangguan mistis atau kejadian ganjil selama menempati bangunan tersebut. "Biasa saja, tidak pernah ada yang menghantui,ā katanya.
Setelah berganti kepemilikan, Toko Wong sempat digunakan sebagai tempat ibadah gereja sebelum akhirnya disewakan untuk toko. Struktur utama bangunan masih terjaga, hanya beberapa bagian yang direnovasi, seperti lantai dan sebagian dinding.
Namun kini, toko tersebut sudah tidak lagi disewa. Bagian depan dibiarkan kosong, sementara di samping bangunan Ega membuka bengkel. Meski demikian, Toko Wong tetap dikenal warga sebagai salah satu situs bersejarah sekaligus mistis di Jembrana.
Tragedi 1965 memang menyisakan banyak cerita kelam di berbagai daerah Indonesia, termasuk Bali. Jembrana, yang dikenal sebagai wilayah pesisir dengan masyarakat majemuk, tidak luput dari amukan politik saat itu.
Bagi masyarakat Jembrana, Toko Wong bukan sekadar bangunan tua. Ia adalah pengingat akan masa lalu yang kelam, ketika sesama anak bangsa dipertemukan dalam kecurigaan, ketakutan, dan kematian.
Di setiap retakan dindingnya, di setiap tiang kayu yang menua, tersimpan kisah manusia yang tak sempat berpamitan pada keluarganya. Kisah darah dan air mata yang tak tercatat dalam buku sejarah resmi, tetapi hidup dalam ingatan warga.
Di senja yang hening, Toko Wong berdiri sebagai saksi bisu. Ia tak berbicara, namun diamnya justru lebih keras dari teriakan. Meskipun wujud fisiknya kini hanya sebuah bangunan tua biasa, bagi masyarakat Lelateng dan sekitarnya, toko itu adalah pengingat bisu tentang masa lalu yang tak boleh dilupakan.(Dna)
Dapatkan update berita pilihan serta informasi menarik lainnya setiap hari di analisapost.com





Komentar